“This is banana. This is your ticket to befriend the elephants. Banana is like candy to them. You come with banana, they want to be your friends! No banana, no friend!”
Pembukaan dari pemimpin program kunjungan pagi itu membuat kami mati-matian berusaha memasukkan sebanyak-banyaknya ‘modal’ pertemanan dengan gajah ini ke kantong yang ada di baju kami.
Siapa yang tidak mau jadi teman gajah kan?
*insert foto Tulus, ‘gajah’ termerdu seantero hati saya* <3
***
Saat membuat itinerary Chiang Mai, satu-satunya tempat yang saya niatkan kunjungi adalah elephant sanctuary. Saya ingin main bareng gajah dan belajar tentang ethical tourism. Ethical tourism ini sepertinya belum banyak digaungkan ya (atau saya saja yang nggak tahu?!) karena saya baru aware dengan istilah ini ya saat melakukan riset elephant sanctuary mana yang akan saya kunjungi di Chiang Mai ini. 😀
Thailand memang terkenal dengan gajahnya. Bagaimana nggak terkenal, lha wong sebutan untuk Thailand saja adalah ‘Negara Gajah Putih’. Gajah punya ikatan yang kuat dengan kehidupan rakyat Thailand sejak dulu kala, adalah simbol negara (Siam), dan sangat dihormati.
Pertama kali saya tertarik dengan (konservasi) gajah dan tahu tentang sistem penjinakkan gajah (di Indonesia) adalah dari post Instagram @deddyhuang. Disebutkan, metode penjinakkan yang dipakai di kamp tersebut mengadopsi metode penjinakkan dari Thailand. Setelah membaca caption itu, saya cari tahu, metode penjinakkan gajah apa yang dimaksud?
Phajaan, namanya. Metode ini dikenal dengan nama lain: elephant crushing. Eh lho, kenapa pakai ada kata ‘crushing’? Ya tak lain tak bukan karena memang metode ini menghancurkan kepercayaan diri gajah dengan cara perisakan. Iya benar, perisakan AKA bully, dilakukan ke gajah untuk menghancurkan jiwanya.
Gajah dipisahkan dari kelompoknya, diasingkan, dimasukkan ke kandang yang—walaupun cukup besar—namun kaki dan leher gajah dirantai, membuat gajah tidak bisa bergerak sama sekali. Gajah tidak bisa menendang, menggelengkan kepala, bahkan menunduk atau mundur sekali pun.
Selain fisik gajah yang dikekang, memori dan jiwa gajah juga dirisak. Gajah di-bully secara intensif, diberikan hukuman-hukuman saat tidak mengerti perintah yang diucapkan pawangnya, ditusuk bullhooks, disambit ranting (atau rantai), dipukul, ditendang, diteriaki, dibentak dengan kasar. Jiwanya dibuat hancur, memorinya dibuat hilang, gajah dibuat bergantung ke pawangnya. 🙁
Semakin saya tahu tentang Phajaan, semakin saya yakin yang dulu dilakukan mantan suami saya ke saya tu metode yang sama. Minus ditusuk bullhooks dan disambit ranting serta ditendang saja. Haha. *nggak tahu mesti ketawa miris apa bersedih*
Di Chiang Mai ada banyak sekali elephant sanctuary. Semua elephant sanctuary mengobarkan semangat ethical tourism. Tapi apa memang benar semua menjalankan wisata etis ini?
Setelah riset lebih kurang tiga hari, saya menemukan hanya ada DUA elephant sanctuary yang saya yakini benar menjalankan ethical tourism ini. Saya mendatangi salah satunya: Elephant Jungle Sanctuary.
Camp 6 Elephant Jungle Sanctuary yang saya kunjungi pagi itu berada di sebuah area luas yang berisi kamp gajah, kolam lumpur, dan sungai. Kamp ini dikelilingi hutan.
Sebelum sesi main sama gajah, seluruh peserta diberikan briefing.
Isi briefing-nya: pengetahuan singkat tentang gajah, berapa banyak gajah makan setiap harinya, kenapa gajah tidak boleh ditunggangi di punggung, area mana dari gajah yang cukup kuat untuk ditunggangi (walaupun sesuai ethical tourism, program ini strictly no-riding tapi info itu diberikan FYI saja). Bagaimana cara memberi makan gajah, di mana posisi berdiri yang aman saat berhadapan dengan gajah, dan komunikasi seperti apa yang bisa dibangun dengan gajah.
Selain itu, kami diberikan perkenalan singkat gajah-gajah yang ada di sana termasuk Charlie, si anak gajah yang sneaky dan sukanya nabrak semaunya tanpa sadar badannya cukup kuat untuk membuat manusia jatuh jungkir balik kalau tertabrak dia hahaha.
Gajah di Elephant Jungle Sanctuary tidak ada yang dirantai dan walaupun mereka tahu mereka harus berada di belakang kayu pembatas saat sesi pemberian pisang, tapi ya intinya, mereka bebas ke mana saja semau mereka.
Ada yang dari sisi kanan tiba-tiba jalan ke sisi kiri dan nyelipin belalainya di antara dua gajah lainnya untuk ‘mencuri’ pisang. Ada juga yang tiba-tiba jalan keluar (ngagetin banget ini, mana badannya gede ya ampun, kalau keplidet kakinya, isi perut saya bisa langsung terburai), kirain dia mau ngapain gitu eh ternyata haus, mau minum. Hihihi.
“Take your time to get to know the elephant. Talk to them. Touch their trunk, head, or side. See their eyes. They can feel your sincere heart.”
Saya melaksanakan ucapan pemandu itu secara relijius. Saya fokus ke satu gajah yang walaupun besar dan tinggi tapi dari pertama saya ajak berbicara, matanya mengerjap-ngerjap dan langsung memandang ke mata saya, menembus jiwa yang rapuh ini.
Masing-masing gajah di Elephant Jungle Sanctuary punya satu mahout (keeper). Mahout ini tidak punya bullhooks, tidak boleh memaksa gajah melakukan sesuatu, dan hanya memberikan suara tegas sesekali serta jeweran di telinga gajah saat diperlukan.
Masing-masing mahout ini bertanggungjawab sepenuhnya untuk gajah yang diasuhnya termasuk bertanggungjawab menghitung jumlah makanan yang harus dikonsumsi gajah asuhannya setiap hari. Menghitung jumlah makanan ini berarti harus menghitung tinggi dan lingkar perut gajah asuhannya (diperlihatkan juga caranya di program ini).
Pagi hingga siang itu acara main-main sama gajahnya menyenangkan sekaligus membuka wawasan. Kami memberikan lumpur ke gajah (lumpur berfungsi sebagai sunscreen untuk gajah) lalu memandikannya di sungai.
Ngakak banget karena saat kami mandikan, gajahnya pada berbaring aja semau mereka dan kadang sampai full tenggelam seluruh badan dan kepalanya, hanya belalainya yang iseng dijulur-julurkan ke arah kami. Hihihi.
Biaya yang harus saya keluarkan untuk mengikuti program setengah hari di Elephant Jungle Sanctuary memang tidak murah, hampir satu juta, tapi biaya yang dibayarkan sudah termasuk banyak hal: penjemputan dan pengantaran, baju atasan suku Karen (dipinjamkan), makanan gajah, pengetahuan tentang gajah, makan siang, serta foto dokumentasi.
Di akhir kunjungan, pemimpin program menjelaskan kenapa biaya main sama gajah ini cukup mahal. Biaya hidup satu gajah yang sudah domesticated sangat besar. Biaya makan (satu gajah dewasa minimal makan 400 kilogram rumput dalam sehari), gaji mahout, sewa lahan, jasa dokter hewan, semua kebutuhan itu harus dibayarkan dengan uang.
Belum lagi biaya pembebasan gajah (gajah di Elephant Jungle Sanctuary adalah gajah-gajah rescue yang dulunya dipekerjakan di sirkus; untuk membebaskan gajah-gajah tersebut dari jerat domestifikasi, gajah itu harus dibeli. Nonton Dumbo deh, di sana ada scene tentang jual beli gajah dalam sirkus).
Pulang dari program mengunjungi Elephant Sanctuary di Chiang Mai ini hati saya penuh. Senang sekali bisa belajar tentang gentle giant yang satu ini, ketemu teman baru, dan punya pengalaman baru.
Semoga memori ini bertahan terus, nggak akan ada yang ngelakuin Phajaan ke gajah maupun saya lagi. Amin…
Senyum dulu ah.. 🙂
PS:
Dari dua Elephant Sanctuary yang benar menjalankan ethical tourism, adalah program Elephant Jungle Sanctuary (bisa langsung pesan di Klook—Dapatkan potongan Rp 45.000,- bagi pengguna pertama Klook). yang ada di Klook. Satunya lagi yang saya yakini benar menjalankan ethical tourism adalah Elephant Retirement Park ya, in case you wanna know.
Anak Limasan lagi kursus memandikan gajah. Kebayang akalu ntar di Limasan mau memelihara Gajah, mesti di sana langsung ramai hahahahahah.
Ini menarik terkait biaya yang mahal; artinya, pengelola peka dengan harga yang mahal, mereka harus menjelaskan kenapa tiketnya sebesar itu. Sehingga, orang yang awam tentang Gajah (termasuk perawatannya dan biaya konsumsinya) langsung sedikit paham.
Betul. Orang jadi tahu value uang yang dikeluarkan dan paham ya memang harus sedemikian harga yang dibayarkan untuk ‘mbenerin’ yang sudah dirusak sama manusia juga. 🙁 Di Limasan ada gajah langsung ramai, ramai tiap mau keluar jalan-jalan, muat gak ya masuk gangnya, muat ga ya.. Hihihi.
Terima kasih Mbak ulasannya. Sementara di Lampung ada Way Kambas tidak terkelola dengan baik. Dan ironisnya lagi warga Lampung sendiri banyak yg belum ke waykambas.
Semoga suaktu saat nanti ada yg mampu menggerakan wisata gajah ini dengan konsep yg lebih baik di negri kita.
Amin. Kalau sekarang camp di Indonesia mengadopsi metode pelatihan ala Thailand, ingin sekali sekarang juga beralih mengadopsi dan belajar manajemen wisata ethical ala Thailand seperti di Chiang Mai ini. Semoga bisa..
Baru mau nanya, bajunya kok kembaran semua? Ternyata dipinjemin.
Seru banget kayanya, trus jadi ingat video gajah kecil yang langsung nemplok itu, si Charlie!
Mau ah kalau nanti ke Chiang Mai lagi.
Iyaaaa itu Charlie!! Sneaky Charlie! Hihihi. Bajunya dipinjemin, mau beli tadinya tapi aku pikir-pikir, ah tidak perlu perlu banget, dan ada tantangan 7 hari 5 juta itu jadi urung. Hihi.