You are my life
You are my strength
I can’t fight a battle alone
I can make it through when I’m with you
Charice – Always
*lagu yang dipersembahkan untuk ibunya, sesaat setelah ia mengakui preferensi seksualnya, memohon untuk sang ibu menerima keadaannya*
Kalau teman-teman berteman dengan saya di Facebook, pasti kalian tahu betapa dekatnya saya dengan mama. Banyak yang mengatakan kami ibu-anak yang kompak; sering menghabiskan setiap akhir pekan bersama, jalan-jalan bersama, dandan bersama. Yang tidak kalian tahu, kami sudah melalui berbagai macam keributan, pertengkaran, dan masa-masa buruk hingga sampai di keadaan sekarang. Dan saya bersyukur kami melewati itu semua dan tetap bersama. Bahkan lebih kuat dari sebelumnya. 🙂
Katanya, keluarga adalah bagian dari hidup kamu yang tidak akan pergi walau kamu berada di keadaan terburuk sekali pun. Dulu saya tidak percaya perkataan itu; hubungan saya dengan keluarga (papa, mama, Kak Ari) baik tapi ya tidak sebaik itu. Saya menyimpan satu hal yang (sepertinya) bagi keluarga saya adalah hal penting — sedangkan bagi saya tidak sepenting itu. Saya belum berani mengatakannya pada saat itu, dan saya berpikir, akan tiba saatnya saya mengatakan hal tersebut dan mereka akan meninggalkan saya. Saya bermain dengan pikiran saya selama bertahun-tahun tanpa sanggup menghadapinya. Saya menyiapkan diri, saya berpikir kemungkinan terburuk; tapi semua hanya ada di pikiran saya, tidak ada yang berani saya hadapi langsung untuk mengetahui hasilnya. It was such a hard time I even preferred not to come to mom’s apartment often. Anything that makes us have a distance, I would take it. I was not ready.
Hubungan saya dan mama pun sempat memburuk. Mama seperti mengejar saya, takut saya hilang dari genggamannya, dan saya kabur, takut terus berada dalam genggamannya. Kami kejar-kejaran. Ada masa di mana mama menelepon saya dan marah-marah sebal karena saya tidak meneleponnya selama tiga hari. Saya bingung, memang harus telepon setiap hari gitu? Aduh kok ribet? Mama telepon lagi bilang saya punya waktu untuk teman-teman tapi tidak punya waktu untuk beliau. Aduh, ya teman-teman saya nggak pernah ribet sama baju yang saya pakai dan bisa bertemu di mall sih, jadi tentu nggak serepot bertemu mama yang harus memikirkan baju yang dipakai dulu dan datang ke apartemen. Belum lagi harus (terpaksa) beribadah sesuai keyakinan mama, belum lagi tidak boleh pakai rok mini, tidak boleh pakai tank top, tidak boleh pakai dress yang terlalu terbuka, tidak boleh pakai cat kuku, tidak boleh ini itu nina ninu, aduh! 🙁
Ada yang salah dengan hubungan saya dan mama. Sepertinya terlalu mengikat dan menarik kami berdua turun. Tidak memberikan waktu bagi kami untuk berkembang menjadi individu yang dewasa.
Pasal utama yang selalu menjadi perdebatan adalah soal agama.
Mama pernah mengatakan, kalau saya sampai pindah agama, beliau akan mengambil seluruh fasilitas yang pernah diberikannya untuk saya. Perkataan itu yang membentuk saya, selama bertahun-tahun, tidak mau menerima dengan sepenuh hati fasilitas APAPUN yang ditawarkan keluarga. Saya menyiapkan diri bahwa semuanya adalah titipan. Semuanya akan diambil ketika saya akhirnya mengatakan keyakinan saya, maka saya tidak ingin ada ikatan apapun dengan semua fasilitas itu. Saya tidak ingin menggadaikan keyakinan saya untuk barang. Seberapa pun abstraknya keyakinan saya itu. Dan ketiadaan keinginan saya untuk menerima apa-apa yang ditawarkan keluarga pun menuai protes. Saya jadi dianggap anak belagu yang sombong. Mama merasa ingin memberi, saya merasa tidak ingin terbebani dengan pemberiannya. Kami tidak bertemu.
Tahun 2013, setelah beberapa pertengkaran kecil, saya akhirnya memberanikan diri mengatakan si pasal utama. Di depan mama dan Kak Ari, dalam pertemuan keluarga dengan nuansa serius (luar biasa ya, kami bisa serius juga), saya dengan jujur mengutarakan bahwa saya tidak memiliki keyakinan yang sama dengan mereka. Setelah saya mengatakannya, sisi dramatis saya bersiap untuk terlemparnya piring, pecahnya kaca, terbaliknya meja, dan teriakan “KELUAR KAMU DARI APARTEMEN MAMA!!”; tapi ternyata …. tidak. Suasana hanya hening. Diam. Saya bingung. Mana drama yang sudah saya perkirakan akan terjadi? Hehehe.
Mama memecah hening dan berbicara dengan pelan dan lembut, meminta saya untuk belajar tidak hanya apa yang saya yakini tapi juga apa yang keluarga yakini. Saya diam. Sambil berpikir, jadi, dramanya nggak jadi nih?
Itu titik balik hubungan kami.
Setelah pengutaraan itu, mama adalah orang yang TIDAK PERNAH sekali pun memaksa saya beribadah sesuai ajaran keyakinannya. Mama tidak pernah lagi memberi komentar untuk cat kuku yang saya pakai. Mama tidak pernah lagi dengan gegap gempita mengatur hidup saya sesuai apa yang beliau inginkan. Bahkan beliau memasakkan makanan saat saya menginap di apartemennya padahal saat itu bulan puasa dan beliau sedang ibadah. Sebegitu hebatnya lah mama saya. Beliau menghormati saya sebagai individu. Dan saya merasa sangat dihargai.
Rasa hormat saya untuk beliau yang sebelumnya mulai runtuh menjadi bertambah dua ratus tujuh puluh empat kali lipat. Mama saya bertahan. Tetap menjadi mama untuk saya. Dan saya tetap jadi anaknya. Walaupun kami berbeda pendapat soal keyakinan (atau untuk banyak hal lainnya), tapi ia berusaha untuk tetap ada untuk saya. Ketakutan saya tidak terjadi. Di luar bayangan saya, mama adalah orang yang begitu terbuka dan berani membiarkan saya berkembang menjadi lebih baik lagi setiap harinya.
Hubungan kami pun jauh membaik. Tidak ada beban bagi saya untuk menelepon beliau setiap hari. Komunikasi berjalan lancar dan kami merindukan satu sama lain setiap kini dan nanti. Tidak ada beban untuk datang ke apartemennya karena dipaksa beribadah. Hidup saya jauh lebih ringan. Saling menghormati terjaga utuh. Kami bisa jalan-jalan dengan lebih asyik. Tidak ada lagi pertengkaran hebat. Saya jauh lebih menghormati seluruh ibadah yang disyaratkan agama yang beliau anut dan saya mengingatkan beliau untuk menjadi pengiman yang baik. Saya tidak lagi antipati. Mama tidak lagi menahan diri untuk belajar beberapa hal dari saya karena ternyata untuk beberapa urusan, saya lebih pintar dari beliau; misalnya soal dandan dan fesyen. Hahaha. Saya sayang beliau dengan sepenuh hati. Bahkan sekarang sudah belajar untuk lebih berani meminta barang ini itu ke beliau. Hubungan ini menyenangkan!
Jadi apa yang kalian lihat sekarang dari hubungan saya dan mama adalah hasil dari proses menyatukan hati dan pikiran selama bertahun-tahun. Hasil dari sekian banyak pertengkaran. Hasil dari sekian kali perbedaan pendapat.
Lucu mengingat bagaimana hubungan ibu dan anak bahkan membutuhkan penyesuaian panjang. Dan saya selalu bangga mengatakan pada mama bahwa jika saya berkembang menjadi seorang individu yang mampu berpikir dan berpendapat, tidak selalu menuruti apa-apa yang beliau ucapkan/inginkan dan menelannya mentah-mentah, maka beliau sudah berhasil dan sukses mendidik saya. Beliau sudah menjadi ibu yang luar biasa.
Mamaku sayang, BuJendral, Emak, terima kasih ya.
Terima kasih sudah selalu ada untuk aku, terima kasih sudah mau menerima aku dengan segala kerumitan hidupku. Terima kasih sudah menerima banyak pemikiranku yang mungkin bagi mama terlalu sekuler dan bebas. Terima kasih sudah membiarkan aku hidup dan berkembang. Terima kasih sudah menurunkan kemampuan berpikir yang kritis. Terima kasih sudah mau mendekatkan diri dengan teman dan lingkunganku. Terima kasih untuk semua dukungan dalam apapun yang sudah dan akan aku lakukan. Dan yang paling penting, terima kasih sudah menjadi orang yang tidak pernah pergi.
Bertahannya mama adalah hadiah Natal terindah dari Tuhan.
Aku ….. padamu!
Weehee!!
Senyum dulu ah.. 🙂
PS:
Untuk menjawab banyak kekepoan baik diucapkan maupun tidak, maka saya berikan penjelasan di sini. Mama saya muslim, saya hingga kini belum memutuskan untuk beragama apapun. Saya merayakan banyak hari besar. Saya berdoa dengan berbagai macam cara. Saya terbuka untuk banyak pelajaran cinta kasih dari banyak agama.
Kalau kalian mau mencemooh preferensi saya di sini, silakan. Tapi jangan cemooh mama saya apalagi agama (apapun).
I can be really harsh to someone who hurts my mom. 🙂
a truly beautiful letter to ibu jendral.
Salam hormat buat mama ya kakbuy.
Dear tante mamanya bulan, tante keren banget sihhh!!!
*minta tissue kaklejid*
*elap air matak*
Hahaha.. Elap air matak!!
I’m very lucky to have her as my mom, right Kak Bany (ganteng)! 🙂 Thanks for reading. 🙂
Akuh terharuuuuuu baca postingan yg iniiiiii… :’)
Dari dulu pertama2 jadi silent reader blognya mba bul, trus temenan di twitter, udah sempet kepo masalah ini. Dan ternyata tebakanku benaaaar… Heheheheee…
Alhamdulillah sekarang suasananya udah jauuuuuh lebih baik yaaa… ;’)
Semua komunikasi sama mamah tulusnya udah bener2 dari hati, bukan karena terpaksa.
Karena memang itu yang paling penting… :’)
-@sawiesawie-
Hai Sawie, akhirnya kamu komen juga di blog aku. Hahaha.
Iya, Puji Tuhan sekarang keadaan sudah jauh lebih baik. 🙂 Terima kasih sudah jadi silent reader selama ini. Jangan silent-silent lagi ya. 😀
Bulaaan… Banyak temanku yang mempunyai pemahaman sepertimu kok. Beberapa mendefinisikan diri sebagai agnostik dan sebagian tidak mendefinisikan.
Masalah kepercayaan aku no komen, karena pengetahuanku masihlah sedikit. Dan pas kuliah dulu, kukira malah kamu orang Bali. Tapi ya gak kutanya. Hahaha.
Kalau masalah ibu, memang dalam semua hal, seorang ibu memang paling oke pemahamannya. Semoga ibu senantiasa ditambahi berkahnya. Amin.
HEH maksudnya aku dikira orang Bali tapi nggak Kuta-nya tu apa?? Kampungnya gitu?? *lempar bom* Hihihi..
Amin untuk doa buat mama. 🙂 Terima kasih Ade.. 😀
Wkwwkw. Ampuuuun.. Salah pemilihan kata..memang ambigu..maklum kurang belajar sastra.. Tapi gak kutanya arti bahasa jawanya.. “But I didn’t ask”…
Owalah.. Hahaha..
Aaaah buyaaan *peluk* titip hi5 buat bu jendral ya 😀
Ceritanya bikin gw makin yakin dgn pilihan gaya asuh didik ke bocah2. Gw yakin, bagaimanapun, siklus hidup akn membuat anak ’pergi’ dari orgtuanya, cuma satu yg bisa bikin mereka kembali…perasaan diterima, apapun keadaannya.
Terima kasih utk inspiring story nya yaaa *ketjup*
True Mbak Dini. Akupun belajar banyak dari hubungan aku dan mama. Dan berniat kalau aku ternyata nanti ingin punya anak dan dikasih anugerah anak, aku mau belajar menerima dia, apapun keadaannya. 🙂
Hi5 akan disampaikan. Terima kasih sudah mampir. Follow aku napah!! *sodorin piso*
sudaaaah….kemarin2 akuh akuh akuh….gak tau caranyaaa *milin2sedotan*
Huikikikik..
ibu emang selalu luar biasa “mbak 🙂
*sambil dengerin lagu iwan fals ïbu
Puji Tuhan.. 🙂
Mirip bgt sama ibu Jendral ya kak. Semoga kak Ginuk2 ini diberkati selalu, begitu juga dengan Ibu Jendral dan seluruh keluarga. Amin.
Trus mau tanya, kenapa 274 kali lipat kak bul hehe
Siapa yang mirip? Aku? IYAAAAAAA, despite the blood-type, untung aku sama beliau mirip, jadi beneran diaku anak. Hahaha. Dua ratus tujuh puluh empat kali lipat karena ………………………………………………………………. gak tau kenapa, random aja. Hihihi.
Kak … kalo pelajaran cinta itu bagaimana ???
Eitttsss “kasih” nya ketinggalan hahaha. Apapun agamamu itu agamamu dan urusan mu dengan yang diatas. Yang terpenting terus berbuat baik dan terbarkan cinta kasih buat kedamaian di muka bumi 🙂
True! Terima kasih Kak Cumz.. Kisskiss!
Ai: “Oi om Cumi, kenapa gak pernah komen di blogku lagi hah, aku kan kangen?”
He answer: “Alah, kamu aja udah lama gak nulis BAMBANG!”
Ai: “om, aku Yayan, bukan Bambang.”
Komen apa ini di lapak orang macam begini hahaha.
Sehat selalu Kak Bulan dan Bu Jenderal 🙂
Ahahaha. Kak Cum lagi jalan2 di sana hey jangan ganggu! Hihi.
saya mau hadiah hp aku pigin kali hp enderoid
???
Anyhoo, terima kasih sudah mampir, masnya! 🙂
Ini artikel pertama yang saya baca di id blog ini dan gak ada sekalipun saya tersenyum alihalih ketawa. Warbiyasak! padahal yang di blogspot, gak ada satupun yang saya gak ketawa. mbaBulan…kamu keren!
Eh, aku kurang paham.. Jadi, baca ini kamu ketawa atau tersenyum? *puzzled* Hihihi. Selamat datang di rumah baru aku. Semoga betah. 🙂
hahaha..bulaaaannnnn..terjawab sudah kekepoan aku tentang dirimu yang sekarang.
apapun agama yang kamu pilih, asalkan kamu tetap baik sama semua orang, saya dukung..hihihi
salam bwt mamah tercinta ya :*
Hahaha. Terima kasih sudah mengakui kamu kepoooo. Hihihi. Salam nanti disampaikan. 😀
Artikel pertama dari blog lu yang gw baca….
Agak kaget pas baca pembukanya dengan cerita dikit dibalik lagu Always – Charice…kirain mau blak blakan cerita preferensi seksual, untunglah Ya Tuhan tentang Ibu…salam kenal buat Emak Jendral
Hahahaha. Selamat datang di rumah akoh, Panji. Belum sekondang blogger kondang sebelah tapi bertahan di sini ya. Demi akuh. :’)
Keep posting….ga sabar akhir bulan nih gw, travelling bareng 2 blogger kondang
Awwww… *geremet2 lengan Chocky*
Setelah membaca “Menua, Hidup, dan Berbahagia”, sebuah judul bertautan membawaku ke halaman ini.
Hadiah Natal Terbaik. Tulisan yang baru kubaca sekarang. Cerita yang membawa saya larut sejenak, kemudian ikut merenungkan maknanya.
Sesuatu yang menurutku wajar, jika dulu pun aku pernah mempertanyakan keyakinan atau keimanan seseorang. Tapi kemudian aku, kita semua, mungkin, mengalami proses atau perjalanan yang tidak melulu dimaknai tentang perpindahan langkah kaki.
Yang jelas, tak selalu sesuatu itu pasti akan diraih jika dicari, dikejar, atau bahkan hanya sekadar dibayangkan. Sesuatu yang lain kerap akan datang tak terduga, yang sudah sesuai kehendaknya.
*Maafkomennyaabstrak ?
Salam hormat buat sang Ibunda dan yang menulis ini, 🙂
Untuk yang nulis ini gak mau salam sayang?
Terharu baca postingan ini :”)
Sini peluk Teletubbies!!
Kak Bulan, terima kasih sudah sharing. Selama ini aku juga sudah bertanya-tanya sih hehe 🙂
Aku sekarang juga ada beberapa temen kantor yang seperti kak Bulan. Kebetulan mereka juga sama-sama based-nya muslim. Personally aku bersyukur dengan ini. Karena ini berarti generasi kita udah semakin terbuka dan kritis. Personally aku berpikir “agama” hanya labelling dan tidak penting, buatku Kristen juga bukan agama, namun “the way of life.” Yang terpenting bukan bagaimana kita melakukan ritual agama kita, namun bagaimana hubungan kita dengan Dia.
Anw, happy welcoming Christmas ya kak. Sehat dan bahagia ya..
Terima kasih, Nugi!!
bearti mamanya kak Bulan sudah lebih memahami dan menyadari bahwa seorang anak hanyalah titipan
(she doesn’t own you, and you have your own life with your own responsibilities).
sebagai orang percaya, beliau tahu bahkan seorang nabi pun yang tingkat keilmuan dan kesuciannya tentu melebihi jiwa percaya umumnya bisa berbeda keyakinan dengan anaknya.
May your kisses lift up her sorrow inside.
never leave your time together without a kiss on her cheek.
cheeky cheeky boom boom!