Berbagi Cerita Tentang Autisme

Saya baru tahu minggu ini adalah minggu edukasi spesial dan bulan ini adalah bulan peningkatan kesadaran akan autisme. Sejujurnya, saya bingung kok baru tahu saat tanggal 29 Juni, yang mana berarti besok sudah habis dong bulan penyadarannya. Hihihi.

Sayang, saya jadi tidak bisa berbuat (dan menulis) banyak untuk membantu gerakan ini. Dan karena waktunya mepet, hehehe, saya di sini hanya ingin berbagi apa-apa yang saya ketahui tentang autisme. Sungguh saya bukan pakar, bukan pula mahasiswa yang memelajari anak berkebutuhan khusus, saya hanya seorang (mantan) guru yang selalu tertarik untuk dekat dengan anak-anak sebagai murid saya, termasuk di dalamnya, anak dengan autisme. 🙂

Lima tahun mengajar dan mempunyai ketertarikan khusus pada anak dengan autisme, saya, somehow, mampu melihat apakah seorang anak sudah menunjukkan sindroma autisme saat mereka masih sangat muda. Dari yang saya baca (maafkan saya tidak bisa merinci bahan-bahan bacaan saya karena pada dasarnya, saya membaca tentang autisme dari mana saja sehingga tidak hapal satu per satu sumbernya. Hehe. *salim*), sindroma autisme dapat dilihat sejak anak berumur sekitar satu tahunan, tapi masih sindroma kasar dalam arti sindroma yang kita tangkap sebagai orang dewasa belum bisa dipastikan kebenarannya. Ketika anak berusia dua tahun, sindroma baru terlihat lebih jelas dan lebih pasti. Dari sekian banyak sindroma yang mengindikasikan adanya autisme pada seorang anak, yang paling umum adalah tidak adanya kemampuan babbling (menggumam) saat anak berusia satu tahun, tidak adanya kemampuan kinetik (menunjuk, melambaikan tangan) ketika anak berusia satu tahun, tidak satu kata pun keluar dari bibirnya ketika anak berusia enam belas bulan, dan yang sering ditakutkan orangtua; kurangnya kemampuan sosial anak (tidak menjawab ketika dipanggil namanya, tidak bisa bermain bersama anak lain/orangtua, lebih sering menyendiri).

Ketika seorang anak mengindikasikan hal-hal tersebut, akan menjadi baik bagi orangtua maupun anaknya untuk diperiksakan sedini mungkin. Periksa kemana? Bisa ke dokter anak. Pemeriksaan dini itu tidak ada salahnya – beda dengan pernikahan dini, eh maaf, skip skip. Kalau benar positif, orangtua bisa mencari terapi yang sesuai dengan jenis autisme anak secepatnya. Dengan terapi, perkembangan anak akan menjadi lebih baik. Tapi yang diterapi tidak anaknya saja ya, orangtua juga harus terus membekali diri dengan pengetahuan tentang anaknya dan autisme. Sama-sama belajar jadinya. 🙂

Bagi saya, anak dengan autisme adalah anak normal yang penuh misteri. Hehehe. Misteri itu yang membuat saya selalu penasaran dengan mereka. Setiap anak itu kan lahir dengan kehebatan ya; kalau menurut orangtuanya, anaknya biasa aja, ya itu namanya kehebatannya belum terbuka saja. Hehehe. Nah untuk anak dengan autisme ini, saya selalu sibuk mencari dan selalu ingin tahu di mana kehebatannya. Jadi saya sering mencobakan berbagai macam permainan pada anak ini kalau sedang di kelas. Ada yang mainannya langsung dibuang (ya berarti dia tidak suka, gitu aja, jangan sensitif please), ada yang mainannya nemplok keras di kening saya dulu sebelum mainan itu menyentuh dinding (sabar Miss Bulan, sabar..), ada yang tangannya mengeluarkan suara PLAK menyentuh pipi saya lalu pergi (APA COBA MAKSUDNYA??), dan ada yang secara sederhana mengungkapkan ketidaksukaannya hanya dengan teriak-teriak atau guling-guling saja. Either way, saya jadi semakin penasaran malah untuk cari tahu apa yang disukainya. Hehehe.

Pengungkapan “Miss Bulan..Miss Bulan..Miss Bulan..” yang keluar dari seorang anak dengan autisme selalu membangkitkan gelora saya. Karena tidak banyak dari mereka mampu (atau mau) mengenali orang lain. Jadi kalau mereka kenal saya, itu berarti saya hebat. Huehehehe. *kembangin hidung lebar-lebar*

Ketika saya berbicara pada anak dengan autisme, saya menaruh tangan saya di dagu mereka, membuat mereka melihat saya. Karena anak dengan autisme kan tingkat perhatiannya kecil ya, jadi cara ini bisa membantu mereka untuk tetap fokus dan membantu saya untuk sedikit lebih berbahagia bahwa mereka mau melihat saya. Hihihi. Pengulangan frase atau kalimat diminimalisir. Alih-alih mengatakan “Come here Kevin, come here Kevin, come here Kevin.”, saya hanya akan bilang satu kali dengan nada tegas “Kevin, come here please.” Kalau anaknya tidak mendengar dan tetep melengos ya sudah diemkan saja dulu (karena saya mengajar di kelas, tidak privat one-on-one, jadi sulit juga kalau mau fokus membuat dia mendengar saya), nantinya saat saya sudah lebih bebas, saya akan sedikit-sedikit terapi dia. Ya walaupun hasilnya tetap kurang maksimal dibanding kalau anak diterapi di kelas khusus, tapi lumayan lah, setidaknya by the end of his playgroup class, Kevin sudah mengerti perkataan saya, “Kevin, please put this into the bin.” Dia tidak menjawab apa-apa, tapi langsung membuang kertas bekas makanannya di tempat sampah. Oh rasanya juarraaa!! *Miss Bulannya langsung jejogedan*

Oh ya, anak dengan autisme, suka sekali mengulang segala sesuatunya. Dari yang tepuk tangan tak berkesudahan, badan bergoyang terus-terusan, kaki menendang-nendang, sampai mengeluarkan suara yang sama terus menerus. Mereka juga cenderung over loyal, kalau bahasa saya. Terlalu setia pada satu hal. Hihihi. Kalau suka mainan buah-buahan ya mainnya pake buah-buahan terus. Kalau suka kursi biru ya duduknya di kursi biru terus. Kalau suka baju merah ya pakai baju merah terus. Saya pernah ngakak pas diceritain seorang orangtua yang harus membeli kaos merah secara kodian secara anaknya tidak mau pakai baju warna lain. Hehehe. Ya gapapa, malah jadi lbh irit kalau beli kodian kan. Hihihi.

Anak dengan autisme adalah anak yang perlu perhatian, perlu rasa kasih, perlu disayang  -seperti anak-anak lainnya. Juga perlu dihargai, perlu diapresiasi, dan perlu diberitahu jika melakukan kesalahan – seperti anak-anak lainnya. Jadi kalau begitu, anak dengan autisme dan anak ‘normal’ lainnya sama saja dong ya? Yap, mereka sama, tetapi mereka membutuhkan satu lagi yang secara mudah didapatkan anak lain tetapi tidak untuk mereka; mereka butuh penerimaan. 🙂

Yuk terima mereka dengan hati yang lapang dan berikan mereka senyum yang tulus. Karena mereka juga berhak mendapatkan itu. 🙂

Senyum dulu ah.. 🙂

PS: Barusan dapat kabar lain kalau Autism Awareness Month itu di April. Laaaah itu mah uda lewat donk ya. *tepokjidat*

Related Posts

8 Responses
  1. Gone Kodokhijau

    Mbak Bulaaaannn
    baca tulisanmu yang ini bikin aku makin pengen nyemplung dan tahu lebih banyak tentang Early Childhood Education, Autisme, dan segala macem yang berkaitan dengan anak.

    aku sendiri seorang guru playgroup yang baru 2 tahun berkecimpung di dunia pendidikan anak. masih harus belajar banyak tentang dunia ini. terima kasih ya, tulisanmu menginspirasi

    -angguni

  2. Bulan

    Wow.. Selamat datang di dunia yang sangat menyenangkan itu mbak. Hehehe. Dl ak empat tahun mengajar dan sampe skrg masih srg kangen ngajar, jd bawaannya kl ada org lg ngajar ak pgn ambil alih aja.. *beda tipis emg antara dpt panggilan ngajar sama pengen eksis.. hahaha..

  3. Cepi Sumantri

    Pagi-pagi sudah dapat ‘sarapan’ yg inspiring. Menjadi pendidik adalah hal mulia yg selalu saya mimpikan. Tak sekedar berbagi ilmu, tapi meyerap energi muda dan positif untuk lebih meningkatkan kematangan. Berharap Miss Bulan suatu saat bisa jadi pendidik lagi, karena memang passionate dan tulus.

    1. Pakai ‘saya’ banget ni, A Cepi? Hehehe. Terimakasih sudah membaca. Masih menjadi pendidik kok hingga sekarang, mendidik diri sendiri untuk jadi lebih sabar hari per hari. Hehe.

Leave a Reply