“Cukup sekali.. Aku merasaaaa.. Kegagalan cintaaa..” *nyanyi sambil jogetan*
Oke fokus!!
Beneran, cukup sekali aja saya kesana. Ga mau lagi! Kalau kata Cherrybelle “Ga ga ga kuat.. Ga ga ga kuat..” *fokus Bulan, fokus!!* <– *disalahin Celly.. Ternyata yang nyanyi 'ga ga ga kuat' itu 7icons. GULP. Maap yaaaaa. *salim*. Jadi kalau Cherrybelle yang 'neve neve want to, really really love u' — itu ya? *dibahas*
Lawang Sewu memang adalah tujuan wisata yang paling terkenal di Semarang. Dan karena selain saya kece, saya juga gaul, maka datanglah saya kemarin ke Lawang Sewu itu. *abaikan*
Pas masuk, langsung ada pemandu yang menyambut dan mengantar ke meja pembelian tiket. Di atas meja sudah ada kertas yang dilaminating, tulisannya:
Okesip, I don’t mind having to have a guide here. Bahkan kalau perlu digabung sama kelompok pengunjung lain aja biar rame-rame gimana? Aura gedung ini beda. Itu saya dapat pas sejak saya masuk ke dalam kompleknya. *dan sekarang merinding lagi* *buka pintu kamar*.
Masuk ruangan pertama, lampunya nyala mati nyala mati. Aaaaah, gw tau banget niiii!! Aaaaah!!! *usep2rambut*. Dulu pas masih ngajar di Regina Pacis Bogor (yang adalah gedung tua bikinan Belanda juga ya tuan dan nyonya), saya sudah pernah dikasihtahu tentang adanya lampu tertentu yang harus terus dinyalakan (atau dimatikan) due to ‘mbak2 dan mas2’ di sana belum mau dipindahkan dari situ. Saya ngajar di sana dua tahun sih Puji Tuhan gada kejadian apa-apa. Dan auranya masih tenang-tenang aja. Jalan di RP pas sore/malam juga waktu itu gapapa. But Lawang Sewu? GOSH!! Auranya beda banget!! Kenceng banget!!!
Sudah coba 3kali foto. Tiga-tiganya blur.. |
Pas saya (dan Sam dan Mas Waluyo the tour guide) masuk, lampu yang tadi nyala mati nyala mati mendadak nyala full. Terimakasih, kami diterima. Tapi tangan saya ga bisa lepas dari mencengkeram lengan Sam (ya masa lengan Mas Waluyo?!), pokoknya itu aura kuat banget nariknya. Horornya berasa beuneuuurrr.. π *puk2 Sam yang lengannya mungkin sakit saya cengkeram terus2an*
Setelah dari ruangan itu, kami menyusur lorong (yang gelap, lampu mati semua) dengan melipir di sebelah kiri. Saya tahu Mas Waluyo baca bacaan tertentu sebelum masuk tiap ruangan baru dan kemudian jalannya melipir mepet ke salah satu tembok. AAAAAHHH!! Saya tahu banget niii!!! Badan saya mendadak panas dan pusing. Gerah, pengen cepat keluar melihat sinar matahari dan orang-orang. Makhluk hidup yang nyata ajah, ga pake makhluk-makhluk lainnya kali ini Ya Tuhan. Selesai dari lorong, Mas Waluyo ngajak melihat ruangan bawah tanah. Dengan jujur saya katakan saya ga kuat. Saya memilih berpisah, jalan cepat ke arah luar, berkumpul dengan banyak orang yang lagi siap-siap untuk pameran di sana. Cuma Sam yang ikut ke ruang bawah tanah. Eh FYI, Samuel itu indigo. Jadi dia bisa melihat (dan mungkin bisa komunikasi kalau dia mau…tapi awas aja kalau dia pake mau..). Dodolnya, pas keluar dari ruang bawah tanah dan hampirin saya, dia pake bilang “Ga bisa difoto. Ga mau difoto yang di dalam. Udah coba pake kamera ga mau ngeklik, pake kamera hape juga ga mau. Belum mau difoto isinya.” EKAMPREEEETTT!!! NGAPAIN LOE PAKE CERITA NYOOONG!!! *graut2 muka Sam*
Selesai dari sana, kami menuju lantai dua. Auranya sedikit lebih tenang walaupun griming-griming masih membayangi tengkuk saya. Dan di tengah ketenangan itu, tiba-tiba Mas Waluyo bilang “Ini ada yang bilang sering liat noni Belanda di ruangan ini..”. HUANJIIIRRR!!!! Saya langsung panik dan uda pengen nangis aja. Sam sampe marah dan sedikit membentak Mas Waluyo, “Kenapa mas?? Mas tadi bilang apa??!!” karena pas kejadian, dia masih jalan di belakang saya agak jauh jadi ga dengar apa yang dikatakan Mas Waluyo. Kami langsung cepat ke luar ruangan, cari sinar matahari. Hehehe. Setelah itu jalan santai dan Mas Waluyo (dengan kekampretannya) menunjuk sebuah ruangan gelap di ujung dan bilang, “Itu toiletnya, mau masuk?”. Saya kasih tatapan bengis ke dia. Sam dengan senyum cuma bilang “Ngga usah mas, sudah lihat dari sini. Sudah cukup.” Saya tahu dia melihat sesuatu. Cuma berharap dia ga bilang apa yang dia lihat saat itu aja. Huhuhu.
Lalu Mas Waluyo ngajak ke loteng. Saya menyerah. Tapi kalau pun saya ga mau ikut, saya juga sebenarnya bingung mau kemana. Menunggu di lorong itu jelas bukan pilihan asoy. Mau ke ruangan lain berarti saya harus melewati ruangan noni tadi. Dan siapa yang tahu berapa lama mereka akan berada di loteng?? GRRRR!!!
Untung Sam menolak ke atas (saya juga tahu dia pasti sudah melihat sesuatu) dan akhirnya kami turun. Turunnya harus melewati lorong super gelap!! Saya jalan turun tangga mepet ke sebelah kanan sambil menguatkan diri sendiri. Sampai di luar, saya sudah agak tenangan walaupun aura gedung ini masih membayangi. Di beberapa kesempatan saya goyang-goyangkan kaki karena merasa ada yang gremeng2i. Hiiiiii. TSUKUP LAH… TSUKUP!! Ga mau lagi balik ke sana. π
Btw, Mas Waluyo cerita, dulu Tommy Soeharto berencana mengubah Lawang Sewu menjadi sebuah hotel. OKESIP!! Mo jadi apa coba yang tinggal di situ ha??? Lalu, another fact, Lawang Sewu (seribu pintu) sesungguhnya tidak memiliki seribu pintu. Pintunya 850 saja sodara-sodara. π Lawang Sewu adalah gedung milik PT. KAI. Dulunya pernah jadi tempat kediaman Belanda (pintunya lapis tiga untuk keamanan; pintu kisi-kisi, swing door, dan kemudian sliding door) sebelum kemudian jadi tempat tahanan/penjara. Β Lawang Sewu yang sekarang sudah menyempit dari komplek bangunan aslinya karena diambil untuk jalan raya (JL Pemuda) di depannya. Di Lawang Sewu pohonnya adalah kamboja. Sebagai pohon khas pemakaman, pohon kamboja ditanam untuk maksud menjaga ‘isi’ Lawang Sewu supaya tetap berada di dalam komplek gedung, tidak keluar-keluar. Karena dulunya, ‘mereka’ sering keluar dan akhirnya memecah konsentrasi pengendara di jalan raya depannya sehingga sering terjadi kecelakaan. Di Lawang Sewu juga setiap saat harus diberikan bunga sedap malam segar. Kalau lalai menyediakan itu, ‘isi’nya bisa keluar dari gedung tempat mereka bersemayam sekarang. Jam buka Lawang Sewu
dulu sampai malam, bahkan pagi, sekarang jam delapan malam (paling telat jam sembilan) sudah ditutup. Dulu, anggota raker salah satu partai pernah tinggal di sana, dan ya, banyak yang ‘dipindahkan’, kesurupan, dan bahkan ada yang meninggal. Juru kunci Lawang Sewu yang dulu adalah mantan tentara Belanda (*diralat Sam* Jepang yaaa, bukan Belanda). Yang sekarang adalah mantan tentara Indonesia yang pernah tinggal dan ditugaskan di gedung ini di jaman perjuangan.
Lawang Sewu sekarang dalam masa transisi. Katanya akan dibuat cafe dan bla bla bla di sana. Tapi dengan segala auranya (saya ga bilang angker ya, this is beyond angker, auranya memang sudah beda), harus ada orang hebat yang bisa memindahkan ‘mereka’ dari sana. Atau jika tidak memindahkan, maka mungkin ada cara lain? But me personally, cukup sekali ke sana. One is enough. π
Saya ragu ni, saya kasitau ga ya apa saja yang Sam lihat di sana? Mmmm.. Skrg aja saya uda merinding. Mmmm. Besok-besok deh ya. Takut ga kuat. π
Senyum dulu ah.. π
woaahhh .. aku bacanya sampe merindingg *kaya nuntn uka2 deh* *tengok kananiri*,
btw, selalu sukaaa banget sama tulisan kaka ^_^
salam kenal ya ka π
Hai.. Hahaha.. Iya, beberapa orang komen di Twitter bacanya juga jadi merinding takut. Hihihi.. Ya bayangin aja, kamu yang baca aja merinding gimana aku yang di sana. :)))) Terimakasih ya Piena.. Salam kenaaaal.. π