Matahari di Pintu Rinjani

Kami – saya, Widi, Drian, dan Angga – duduk mengelilingi meja kecil yang Angga pasang dan kami gunakan sebagai meja makan. Meja kecil dengan empat kursi lipat yang membuat banyak pendaki Rinjani melihatnya dengan tatapan bingung-bingung iri. Bertanya-tanya apakah mereka missed saat melihat spesifikasi paket pendakian yang mereka ambil sehingga mereka nggak punya meja makan seperti kami? Hihihi.

makan-di-rinjani

Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam ketika kami selesai makan, hari sudah gelap sekali. Saya mengambil sarung tangan di saku, memasangnya sebelum kemudian memegang gelas kecil berisi susu putih hangat yang pasti tidak lama lagi akan menjadi dingin diterpa udara pegunungan. Briefing untuk summit attack esok pagi pun siap digelar.

Yang muncak hanya Widi. Tentu dengan ditemani Angga, pemandu kami dari Dome Explorers (mereka sudah follow saya jadi bolehlah saya promosikan di sini. Hihihi). Walaupun saya ikut briefingnya, tapi saya memutuskan nggak ikut muncak.

Kenapa?

Karena enough adalah cukup.

Muehehehe..

Setelah naik sampai Plawangan Sembalun, sesungguhnya tingkat percaya diri saya dalam mendaki sudah naik 28.79%. Saya, somehow, makin yakin bahwa saya bisa sampai  ke puncak. Sampai doang kan? Nggak diukur berapa lamanya kan? Hihihi. Tapi ya itu tadi, enough adalah cukup. Satu hal yang saya pelajari dari beberapa kali jalan-jalan (saya nggak mau nulis ‘ratusan kali jalan-jalan’ karena nanti dikira sombong), you should really know when to feel you’ve got enough. And then you stop. And then you be grateful for what you got. That’s how you take care of yourself. Physically and mentally.

Saya sudah cukup berbahagia bisa sampai Plawangan Sembalun dengan selamat; bisa melihat Segara Anak dari kejauhan, bisa menantang diri saya sendiri untuk keluar dari zona nyaman. Maka saya stop. Biar saya cukupkan kebahagiaan saya kali ini sampai di situ saja.

danau-segara-anak-dari-plawangan-sembalun

Tapi tentu, saya nggak akan melewatkan bangun tengah malam dan menyemangati Widi dan Angga yang akan muncak. Saya ikut bangun jam 12, menemani Widi makan, membantu Widi menyiapkan peralatan, meminjamkan jas hujan dan headlamp (karena headlamp baru saya ni keren gilak cahaya lampunya menjangkau jauh macam dari Jakarta sampai ke Medan!), dan saying ‘Bye bye Widiiii..” sambil teriak-teriak dari dalam tenda. Hihihi. I was so excited for her!

Pintu tenda kami rusak malam sebelumnya. Membuat saya tidak bisa tidur sama sekali, meringkuk kedinginan diterpa angin gunung yang masuk melalui celah retsleting tenda yang terbuka cukup lebar. Sudah pakai kaus kaki, celana panjang, kaus lengan panjang, jaket, sarung tangan, topi kupluk, dan berlindung di balik sleeping bag pun tetap tidak kuat. Padahal saya termasuk yang kuat dingin.

Entah yang membuat saya nggak bisa tidur itu suhu pegunungan yang dingin atau kocar-kacirnya pikiran. Yang pasti, malam itu saya tidak bisa beristirahat dengan tenang.

kemping-rinjani-tenda

Tengah malam saat kami bangun dan Widi melakukan persiapan summit attack, salah satu porter kami berjongkok di luar tenda dalam suhu rendah untuk membetulkan dua pintu tenda itu – dengan hanya diterangi headlamp miliknya. Sungguh saya bersyukur sekali porter kami cukup hands on bahkan untuk urusan tenda rusak sekalipun. Sudah terbayang saya bisa tidur nyenyak setelah nguntapke Widi muncak.

Dan benar saja.

Tidur saya pagi itu nyenyak. Hanya terbangun setelah mendengar nama saya dipanggil berkali-kali dari luar. Panggilan untuk melihat matahari terbit!

Saya malas sekali bangun sebenarnya. Though I’m quite a morning person, I’m so much less of a sunrise person. Hahaha. Nggak terlalu menikmati sunrise dan nggak segitu niat bangun pagi untuk melihatnya. Tapi si Abang ini tidak berhenti memanggil-manggil nama saya dan kayaknya nggak akan berhenti memanggil sampai saya bangun. Jadi akhirnya saya bangun juga. :))

Udara masih sangat dingin, malas-malasan saya keluar. Kamera sudah saya kalungkan, sepatu sudah terpasang walaupun talinya saya biarkan saja menjuntai ke sana ke mari. Di depan tenda saya bengong sesaat. Mana matahari terbitnya? Kok sudah terang saja tapi nggak ada mataharinya? Nyawa belum kumpul sempurna hingga kemudian saya berbalik badan. OH……. Di sana rupanya.

Sinar matahari menyembul dari balik dua gunung yang lebih terlihat seperti bukit dari kejauhan. Ternyata, salah satunya memang bukit. Bukit Pergasingan, namanya. Yang satunya lagi adalah Gunung Sembalun. Cahaya kuning matahari membias cantik di antara keduanya, membuat bukit dan gunung itu terlihat seperti siluet. Tuhan sedang melukis pagi. Saya hanya bisa diam menikmati.

matahari-di-

Kaki saya langkahkan ke bukit di sebelah kiri tenda, ingin melihat siluet dengan lebih jelas. Malam sebelumnya, saya dan Widi yang punya ritual pipis bersama sebelum tidur sibuk mencari semak-semak untuk kami mengosongkan kandung kemih yang telah penuh. Setelah mencari ke sana ke mari, kami menemukan sepetak jalan yang kanan kirinya tertutup semak lumayan tinggi. Cocok untuk berjongkok tanpa dilihat orang lain. Widi sempat bertanya apakah itu jalan menuju puncak yang akan dilalui banyak pendaki esok paginya? Saya bilang, “Sepertinya tidak.” – karena hey, siapa yang tahu?

Maka pipis lah kami di situ.

Dan tentu saja benar adanya. Jalan itu adalah jalan utama pendaki yang mau ke puncak!

Hahahaha.
Hahahaha.
Hahahaha.

Mohon maaf kepada seluruh Pendaki Rinjani. Kami meninggalkan jejak di tempat yang tak semestinya. *salim*

*untung cuma pipis saja*
*bayangkan kalau… (ah sudahlah)*

Selesai berjalan di bukit, saya lanjut berjalan ke arah sebaliknya, tali sepatu sudah terpasang rapi.

Timpaan sinar matahari mulai menyiangi Danau Segara Anak di bawah sana. Danau masih terlihat kelam dan dingin tetapi sisinya mulai menunjukkan warna. Saya berdiri lama sekali, hanya untuk diam melihat pemandangan. Pagi itu hening. Saya suka. Diam. Sendirian.

segara-anak-di-pagi-hari

Porter sibuk menyiapkan makan pagi untuk saya dan Drian walaupun kami berdua belum lapar. Saya kasih ide sarapan roti lapis isi telur saja. Sederhana dan tidak terlalu berat seperti badan saya. Tidak berapa lama roti lapis pun siap. Saya dan Drian duduk bersama sambil ngobrol di meja makan. Kawanan monyet datang, merubung, ingin minta bagian. Porter melempar timun ke arah seberang, mencoba mengalihkan perhatian monyet-monyet supaya kami bisa makan dengan nyaman.

Salah satu porter kami itu iseng sekali. Saya nggak tahu tingkat keisengan dia di bawah atau di atas monyet-monyet yang ada di Rinjani, tapi yang pasti, tingkat isengnya tinggi di atas saya.

monyet-di-rinjani

Dia mengambil satu potong timun dan membalurinya dengan sisa sambal semalam. Kami sudah siap ketawa saat melihat dia berjalan mendekati sang monyet lalu mengangsurkan timun bersambal tersebut.

Monyet mengambilnya, kami semua menahan napas menunggu apa yang akan terjadi. Timun didekatkan ke hidung dan monyet itu mengendusnya beberapa kali. Kami makin kuat menahan napas. Monyet berhenti mengendus, kami menegakkan badan dan melihat dengan seksama. Sepersekian detik kemudian, tring…

Timun dibuang begitu saja oleh sang monyet. HAHAHAHA.

Keisengan porter tak berbuah! Monyetnya pintar!! :)))
*pukpuk porter kami yang tangannya bersimbah sambal*

Kabut sudah mulai turun dan menutupi pandangan. Hari sudah terang, tidak lagi terlihat sinar kuning matahari di antara Bukit Pergasingan dan Gunung Sembalun di ujung sana. Matahari beranjak meninggi. Saya memutuskan kembali ke dalam tenda untuk melanjutkan istirahat sambil menunggu Widi pulang.

Kami akan turun menuju bibir Danau Segara Anak pagi itu. Saya butuh menyimpan tenaga.

rinjani-kabut

Pagi masih dingin, pintu tenda sudah menutup sempurna. Saya melepas topi kupluk, sarung tangan, kaus kaki, dan jaket. Tidur hanya bersama sleeping bag saja. Pikiran yang kocar-kacir tidak lagi berhamburan. Sudah mulai tersusun rapi dalam plotnya. Matahari di pintu Rinjani tidak hanya membiaskan energinya ke alam pegunungan, tapi juga ke perempuan yang kini bisa tersenyum mendekap pagi sambil membatin, “Everything is gonna be fine.”

Indeed, everything is gonna be fine. 🙂

Senyum dulu ah.. 🙂
*akhirannya masih gantung ya?*
*kayak status hubungan saja, gantung*


Untuk mendaki gunung mana-mana saja di Indonesia – recommended:
DOME EXPLORERS
www.domeexplorers.com << clickable link
Angga: 62 818 0292 8138
Instagram: dome.explorers (atau klik di sini)
*Bilang aja fansnya Bulan Ubermoon*

Related Posts

20 Responses
  1. ah, plawangan Sembalun ini indah banget ya, plus angin yang menderu-deru, dan hamparan bintang yang memesona di angkasa pas malam. komplitlah pemandangannya indah, walo perjuangannya juga sepadan..

    1. Haaaa? Gak gratis laaah. Bayar. Hahaha. Malu ih wong mampu masa minta gratisan.
      Apaan deh ketek? Kucari-cari kok gak nemu ada foto ketek. ???

  2. Wih akhirnya nama guide-nya disebut! ?
    Ceritanya bikin kangen Rinjani. Waktu yang berasa jalan lamban banget di Plawangan Sembalun. Saya sama temen2 waktu itu bahkan nginep 2 malem di sana buat santai2. Ena’ ?

    1. Akhirnya!! Setelah dia kuancam dengan emoji pisau di Whatsapp!! Hihihi.
      Plawangan Sembalun dingin sekali Mas Iyos ya ampuuun. Aku bahagia bgt pas kami beranjak ke Segara Anak deh. Dingin bener di ataaas.

    1. Idealnya begitu Dita, tapi apa daya ya kan, sebagai artis ibukota, suka nggak sempat persiapan fisiknya.
      *ini ember untuk hoek*
      Kuat si insyaallah kamu pasti kuat. Pelan-pelan aja jalannya, pasti sampai kok. ?

  3. Duh, terbayang suasana gunung dengan angin menderu-deru dan cuaca dingin. Komplit kalo ada Indomie rebus pake telor, cabe rawit, daun seledri, dan tomat…masalahnya fisikku males-malesan kalo naik gunung kecuali ada cable car. Bhay!!
    BTW, itu headlamp cahayanya ga nyampe Medan! ini pendustaan pemirsah!

    1. Hahahaha.. Iya ya ampun aku juga malas sekali naik gunung. Cukup sekali dalam setahun lah. Kemarin pas di gunung, saking masakan yang dibuat tu masakan lengkap terus, malah nggak pernah makan Indomie. Pas sudah hari terakhir melas pengen banget Indomie deh. Hahaha.
      Kamu gak lihat pas aku di Rinjani tu Merdeka Square lebih terang dari biasanya? Itu karena senterkuuuu!!

  4. Saluttt!! Berani naik Rinjani untuk pengalaman pertama naik gunung! *keprokin*
    Aku masih deg2an (tapi penasaran) sama gunung2 di Indonesia. Bukan anak gunung juga sih, jadi kayaknya kebayangnya beraaaaaattt banget perjuangannya 😉

    1. Ini enggak pertama kali, Mbaaaak. Hihihi. Rinjani itu yang ketiga lah. Tapi definitely yang tertinggi. Hihihi.
      Ketelanjuran udah bilang ‘Hayuk’ sama teman ni. And I hate to turn back. LOL. #makantugengsiLan Hihihi

Leave a Reply