Memaknai Kematian di Toraja

“Kamu ikut ke Toraja kalau aku pulang ya. Kenalan sama keluarga. Lihat Rambu Solo’. Atau ikut acara Ma’nenek. Ikut kami berkumpul kembali dengan leluhur.” ajak Sam, pacar (kala itu).

Tolong kalian jangan fokus di ‘kala itu’-nya.

“Saat Ma’nenek, leluhur kami yang sudah meninggal dipanggil lagi ke rumah untuk berkumpul dengan seluruh keluarga.”

Saya mengerjapkan mata. Mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam acara Ma’nenek yang diceritakannya.


Cerita Sam tentang Rambu Solo’ dan Ma’nenek memenuhi pikiran saya dari sejak cerita itu dihembuskan. Bagaikan membius, saya jadi tertarik banget mengikuti proses Rambu Solo’ (upacara kematian dalam adat Toraja) dan Ma’nenek (kegiatan membersihkan kuburan keluarga).

Ketika kemudian saya dan teman-teman berencana untuk lanjut ke Toraja setelah dari Taka Bonerate, saya sesungguhnya tidak berambisi untuk melihat Rambu Solo’ atau Ma’nenek karena tidak ada dari kami yang orang Toraja asli jadi ya saya pikir, mana bisa kami lihat acara adat begitu? Tapi lalu salah satu teman memberikan flyer elektronik berisi jadwal Rambu Solo’ di beberapa desa dan pas sekali saat kami di sana, ada satu acara Rambu Solo’ dilaksanakan.

BACA JUGA: Perjalanan Berat ke Taka Bonerate

Secara pribadi, saya sempat merasa bingung. Upacara kematian itu bukankah sangat pribadi? Hanya diikuti oleh orang-orang yang kenal dengan jenazah atau yang kenal dengan keluarga. Apa jadinya kalau upacara kematian diikuti orang lain yang ketika datang berstatus sebagai wisatawan? Apakah tidak akan kenapa-kenapa? Sopan kah kami mengikuti sebuah prosesi duka hanya untuk melihat budaya dan ritual suku lain?

Mungkin saya yang terlalu takut dan overthinking karena ternyata, Rambu Solo’ yang diumumkan (misalnya via e-flyer tadi) berarti terbuka untuk dilihat oleh wisatawan.

***

rambu-solok-di-toraja

Setelah melalui perjalanan lumayan panjang dan bertanya ke dua orang di pinggir jalan, akhirnya kami berhasil menemukan rante tempat Rambu Solo’ diadakan. Rante adalah sebutan untuk satu komplek area berisi beberapa Tongkonan (rumah tradisional Toraja) dan tanah yang lapang. Rante biasa disewa untuk pelaksanaan acara adat yang butuh area lebih luas dari rumah. Mungkin seperti halnya aula atau balairung begitu.

Rambu Solo’ yang kami datangi adalah acara kolektif, dilaksanakan oleh beberapa keluarga. Seperti Ngaben, upacara pembakaran jenazah di Bali, Rambu Solo’ membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pelaksanaannya, maka dibuatlah acara kolektif. Beberapa keluarga bergabung melaksanakan Rambu Solo’ dan menanggung beberapa pengeluaran umum bersama.

BACA JUGA: Ngaben..

Rambu Solo’ sering tidak dilaksanakan langsung saat salah satu kerabat meninggal. Kadang bahkan hingga berbulan-bulan setelah kerabat tersebut ‘pergi’. Ini karena selain keluarga harus mengumpulkan biaya untuk acara, juga untuk menunggu semua sanak  saudara bisa berkumpul bersama. Hubungan kekeluargaan di Toraja sangatlah kuat. Ketika ada acara adat, apalagi kematian, seluruh bagian keluarga, termasuk yang tidak lagi tinggal di Toraja, diharapkan datang dan ikut ambil bagian.

Mendekati rante tempat acara, pemandangan puluhan babi cemiwel yang terpasung bambu menyambut kami. Pekikan mereka terdengar menyayat, beberapa berusaha keras melepaskan diri dari pasungan dengan mengguncang tubuhnya keras-keras.

babi-dalam-upacara-rambu-solok

Di dalam rante, pemandangan berganti menjadi puluhan kerbau yang berdiri secara acak di sana sini. Beberapa di antaranya adalah kerbau bule yang disebut tedong. Matanya cantik sekali, tubuhnya gempal dan pejal. Semua kerbau-kerbau yang ada dalam acara Rambu Solo’ sangat besar! Saya sepertinya tidak pernah melihat kerbau sebesar itu di tanah Jawa. Hehehe.

Melalui pengeras suara, pemandu acara mempersilakan tamu dan pengunjung untuk duduk di sebuah area yang sudah disediakan khusus. Kami beringsut menuju area yang dimaksud. Duduk di kursi plastik di antara dua tongkonan. Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat berlangsungnya keseluruhan acara.

Kerbau-kerbau dibawa ke sisi lain rante, meninggalkan tanah lapang yang kosong di depan kami. Dalam bahasa Toraja, pemandu acara memanggil satu per satu keluarga. Keluarga datang dalam barisan rapi; beberapa memakai pakaian hitam-hitam, beberapa lainnya memakai pakaian adat Toraja lengkap dengan tas selempang yang seragam. Beberapa keluarga dipandu penari laki-laki di depan yang meliukkan tubuhnya serupa gerakan pencak silat, beberapa lainnya memasuki area lalu membuat lingkaran dan berpegangan tangan sambil bernyanyi. Duka menyelimut wajah mereka. Rasa yang sama menjalari tubuh saya.

melihat-rambu-solo-di-toraja

Kami tidak terlalu lama mengikuti acara Rambu Solo’ di rante ini. Acaranya panjang dan keluarga yang ikut di dalamnya banyak sekali. Kemungkinan besar, jika kami ingin melihat seluruh prosesinya, kami harus berada seharian di sana.

Saya kini mengerti kenapa banyak acara Rambu Solo’ kolektif terbuka untuk dikunjungi. Acara ini – walaupun ‘terbuka’ tapi sesungguhnya sangat intimate dan pribadi. Seluruh acara dipandu dalam bahasa Toraja. Wisatawan yang tidak tahu ya sudah melongo saja tidak paham apa-apa. Warga lokalnya sendiri larut dalam emosi duka sehingga tidak  (sempat) terganggu dengan adanya orang asing di tempat acara. Puji Tuhan seluruh wisatawan yang datang melihat Rambu Solo’ saat itu juga bisa menjaga kesopanannya. Kami sendiri sekelompok berusaha untuk ikut bercampur dengan warga dan tidak berpenampilan terlalu mencolok. Kami mengikuti panduan dari pemandu, duduk di tempat semestinya, tidak mengambil foto terlalu dekat dengan objek, dan mengikuti prosesi dengan tenang.

***

Setelah dari rante tempat Rambu Solo’ diadakan, kami lanjut mengunjungi makam.

Toraja terkenal sebagai tujuan wisata makam, jadi jangan heran dan jangan bosan mengunjungi makam-makam yang ada di Toraja. Setiap makam sungguh unik dan menyimpan cerita tersendiri. Makam yang pertama kami datangi adalah Londa.

makam-gua-londa

Londa terletak sekitar 6 km ke arah Makale dari Rantepao – ibukota Toraja Utara. Di Londa ada dua gua masing-masing setinggi lebih kurang 10 meter yang dijadikan makam. Dulunya, Londa tertutup untuk umum karena sesungguhnya gua yang dijadikan makam ini adalah makam keluarga. Hanya orang bermarga Tolengke yang bisa dimakamkan di sini.

Berbeda dengan cara mengubur jenazah di bagian lain Indonesia, di Toraja, jenazah dikuburkan di dalam gua batu. Dari yang saya lihat, ada tiga tipe makam di Toraja.

Tipe yang pertama adalah kuburan gantung.

Kuburan gantung ini bisa terlihat di bagian luar gua di Londa. Beberapa peti mati ditaruh di atas kayu-kayu yang ditanam ke dinding gua sehingga posisinya jadi menggantung. Di masa dahulu, kuburan menggantung benaran digantung menggunakan tali; tapi tali tidak terlalu tahan menahan beban peti mati untuk waktu yang lama sehingga sekitar waktu setahun, tali pun putus dan peti jatuh. Maka setelahnya, dibuatlah ‘gantungan’ dari kayu yang ‘ditanam’ ke dinding gua seperti yang ada sekarang.

kuburan-gantung-di-londa

Tipe kedua adalah makam terbuka di dalam gua. Saat memasuki goa di Londa, saya melihat banyak peti mati yang ditaruh begitu saja di beberapa sisi gua. Beberapa peti ditutupi selembar kain, beberapa ditumpuk, beberapa dibuka.

Selain peti mati, di dalam gua di Londa juga ada banyak sekali tengkorak. Tengkorak ini ada yang masih berada di dalam peti, ada juga yang ditaruh tersebar di beberapa bagian gua.

Tipe ketiga adalah makam gua batu. Kami melihat makam gua batu ketika kami mengunjungi Kalimbuang Bori dan Loko’mata.

makam-batu-di-kalimbuang-bori

Batu-batu besar dibor membentuk ruang selongsong untuk memasukkan peti mati. Pintu masuk ruang tersebut kemudian ditutup pintu kayu. Ada pintu kayu yang sederhana tanpa ukiran, ada yang berwarna-warni dan penuh ukiran. Ada beberapa pintu yang dihiasi foto sang jenazah ketika masih hidup dan ada juga yang dilengkapi Tau-tau. Tau-tau adalah patung yang dibuat serupa orang yang sudah meninggal.

Ketika saya belum sampai ke Toraja dan hanya mendengar soal Rambu Solo’ dan Ma’nenek, yang ada dalam bayangan hanyalah kemungkinan rasa horor yang melanda ketika melihat langsung dua upacara adat ini. Ya bagaimana tidak, segala yang berhubungan dengan ‘alam lain’ itu terasa menakutkan. Mungkin efek pencekokan film dan cerita horor ya. 😀 Ketika saya mendengar bahwa Toraja terkenal dengan sebutan ‘the land of the death’ dan wisata makam adalah wisata utamanya, saya tidak bisa membayangkan bagaimana wisata seperti itu bisa berkembang dan orang menemukan keasyikan dari mengunjunginya.

Tapi setelah saya berada di Toraja dan mengunjungi beberapa makam, rasa yang saya dapat justru jauh dari rasa takut atau ngeri seperti dalam bayangan. Yang ada justru rasa dukacita yang mendalam dan rasa hormat yang tinggi akan leluhur.

Saya berasa dekat banget dengan para leluhur yang sudah meninggal. Seperti merasa melihat eyang kakung dan eyang putri saya; ratusan kali lebih dekat. Feels like being watched over – with love.

BACA JUGA: Sungai Gangga dan Kemahaannya

Kematian adalah bagian dari kehidupan. Lucu mengingat dua hal yang adalah antonim bisa menjadi bagian dari satu sama lain.

Saya selalu memaknai kematian sebagai peristiwa kasual, yang pasti akan terjadi. Duka yang ada adalah karena kita berpisah dunia dengan yang meninggalkan kita. Tidak bisa lagi berbagi cerita, berbagi tawa, dan emosi lainnya. Tidak bisa lagi memeluk, menyentuh pipinya, dan merasakan sentuh tangannya. Mungkin selama ini saya hanya fokus pada kehadiran fisik semata, bukan pada rasa.

Jalan ke Toraja dan melihat Rambu Solo’ serta mengunjungi Londa, Loko’mata, dan Kalimbuang Bori membuka pemikiran saya bahwa ternyata, mungkin saja, berpisah dunia bukan berarti terputusnya hubungan (batin) dengan sesiapa yang sudah meninggalkan kita. Kehadiran satu individu yang berarti bagi yang lainnya adalah soal rasa dan pikiran, tidak fisik semata. Maka ketika berpisah dunia sekali pun, sesungguhnya kita tetap bisa membawa mereka yang sudah tiada dalam hati dan pikiran kita.

Tetap merasa dekat.
Tidak dalam fisik.
Tapi dalam rasa.

Hai, Papa, bagaimana kehidupan di sana? Pasti menyenangkan ya. I miss you.

Senyum dulu ah.. 🙂


Terima kasih banyak untuk Kak Olive Bendon, seorang teman, perempuan Toraja, yang sudah mau saya ganggu dengan pertanyaan tiba-tiba tentang penulisan Rambu Solo’ dan Ma’nenek yang benar dan tentang ini itu lainnya. Your culture is appealing to me, mohon jika ada apa-apa yang salah dalam tulisan ini, aku dikoreksi yaaaa. Hehehe.

14 Responses
  1. ya ampuuun Kk Bulan, tulisanmu memesona. aku aja gak pernah menulis tentang ini. btw suka dengan deskripsi tedong yg Matanya cantik sekali, tubuhnya gempal dan pejal. 😉
    aku senang koq digannguin kamu kak

  2. Gallant Tsany Abdillah

    Aku penasaran, tapi merinding juga, penasaran tapi merinding juga.
    Kematian adalah bagian dari kehidupan. Bagus kak Bul kalimatnya. Membuat kita tersadar bahwa suatu saat nanti kita pasti mati.

  3. Purwati Purpules

    Waaah… tulisannya menyentuh banget. Bisa bikin pengen pergi ke Toraja
    Tadinya aku pikir akan membawa kesedihan mendalam kalo berkunjung ke sana.. karena akan mengingatkan pada bapak, ibu dan adik2ku yg sdh tiada. Tapi baca ceritamu ttg adat Toraja dalam memaknai upacara kematian dan menghormati leluhur yg sdh tiada justru bisa menjadi cara mengenang kembali kerabat dekat yg sdh tiada.
    Nice story Bulaaan… thanks for sharing.
    ????

    1. Thanks for reading, Mbak!! Aku pun awalnya berpikir akan sedih yang gimana gitu. Ya sedih sih, tapi berasa dekat banget sama mereka yang sudah tiada di sana jadi kayak dipukpuk dan dijaga gitu. Yang ada jadi ngerasa tenang dan senang. ?

Leave a Reply