Orang-orang Baik Hati di Rajasthan

23

Sulit untuk menuliskan (atau tidak menuliskan) kebaikan hati Rajasthani yang saya dapat dari dua minggu tinggal di dua kota dalam negara bagian Rajasthan: Jodhpur dan Jaipur. Padahal pertama kali saya mau ke Rajasthan, saya justru agak lebih kawatir dibandingkan ketika saya datang ke negara bagian lain di India. Warna-warna yang mencolok di Rajasthan serta gambaran lelakinya yang berkumis melingkar dan bermata dalam membuat saya agak ketar-ketir. Hihihi.

rajasthani-at-rajasthan


Saya keluar dari bangunan Indo-Cina bercat biru putih. Tersenyum melihat sebuah traktor berjalan ke arah gedung tersebut. Berbeda dengan di Indonesia yang kendaraan lapangan di bandara adalah mobil seperti buggy, di India, kendaraan lapangannya adalah traktor. Jadi ya jangan heran lihat traktor seliweran di bandara, kadang sendirian, kadang menarik wagon bagasi. Hihihi.

Saya berdiam sebentar melihat sekeliling. Ada konter taksi prabayar di kejauhan, AHA! Saya pun berjalan ke sana. Saya sebutkan nama penginapan saya dan bertanya berapa biaya menuju ke sana?

“Your hotel is far, Madam..”, mulailah lelaki di dalam konter berbicara. Pikiran saya langsung menebak ‘halah, alasan! pasti mau minta biaya lebih nih..’

“We cannot reach your hotel. It’s high, on the hill. Taxi cannot get there.”

‘hadoooh.. ni baru hari pertama di negara bagian ini sudah mau kena scam nih?’, saya membatin dalam hati.

“So…?” tanya saya dengan muka mengeras.

“We can only drive you to Manak Chowk, Madam. From there, you need to walk.” lanjutnya lagi. ‘hedeuuuuh.. trus nanti kalau ditambah seratus rupee bisa gitu nganter sampai ke penginapan!’ saya masih membatin.

“Madam, you better take rickshaw, Madam.”, lanjut lelaki dalam konter tadi menyadarkan saya dari kebengongan sejenak. “Rickshaw can go to your hotel. It’s a small road, Madam, taxi cannot reach.”

EH LHO..APA?!
Ini beneran ngasitahu ya? Bukan mau minta uang tambahan ya? Bukan mau ngescam ya?

auto-rickshaw-in-india

Ternyata benar, penginapan saya yang berada di kaki bukit Benteng Mehrangarh tidak bisa dicapai dengan taksi. Jangankan taksi, lha wong auto-rickshaw (bajay) yang saya tumpangi saja nggak kuat naik.

Rickshaw berhenti di sebuah pertigaan kecil dan supirnya mengatakan bahwa penginapan saya ada di atas, kendaraannya tidak akan kuat naik. Saya bengong sambil melihat jalan menanjak ekstrem di samping saya. Iya sih memang, nanjaknya ekstem banget, Bok. Nggak akan kuat bajay ini mengantarkan saya (dan koper saya – dan si Abang supir) sampai di atas.

“Your stay is up the hill, Mam. Let me call the owner of your stay.” sahut seseorang yang entah siapa tahu-tahu sudah ada di sebelah saya saja.

“Thank you.”, jawab saya gamang – berpikir apakah orang ini akan minta uang ya? Kok ngebantuin? Hihihi.

Seperti membaca pikiran saya, lelaki itu melanjutkan,”I own this shop, Mam. It’s an NGO shop. Whenever you have time, you are welcomed to my shop. I’m just helping you here, and the owner of your guesthouse is my friend.”

Jeng jeng…

Wagelaseh, Jodhpur… Hari pertama sudah membuat saya terpana. <3

jodhpur-from-mehrangarh-fort


Pagi hari sekali, saya sampai di Jaipur setelah menempuh perjalanan enam jam dengan kereta dari Jodhpur. Enam jam yang bikin sedih dan lelah karena saya nggak bisa tidur padahal ‘kamar saya’ di kereta cukup nyaman.

Mungkin ketidakbisatiduran saya adalah hasil paduan kelelahan perjalanan yang teramat sangat dan excitement yang teramat tinggi untuk mengunjungi sebuah kota baru.

Atau mungkin, sebatas karena takut stasiunnya kelewatan saja sih. ?

Sistem kereta di India tidak mengumumkan stasiun mana yang sebentar lagi akan dicapai. Mungkin karena dalam satu rute kereta, stasiun pemberhentiannya banyak sekali jadi mereka takut berisik kalau diumumkan setiap saat. Dengan tidak diumumkannya stasiun yang akan dicapai, maka ada kemungkinan penumpang kelewatan stasiun. Mana kereta berhenti hanya sebentar di setiap stasiunnya lagi. Huvt.

 

Sepuluh menit sebelum jadwal kedatangan, saya turun dari tempat tidur saya di tingkat atas dan mulai mendorong koper ke pintu. Jam masih menunjukkan pukul 4.46. Di luar masih gelap. Saya bahkan nggak bisa lihat tulisan apa yang ada di stasiun. Keluarga yang mengantri turun di depan saya membawa delapan kardus. DELAPAN!! Saya itungin karena saya harus menghitung juga apakah saya punya cukup waktu untuk turun setelah menunggu si Bapak bolak-balik ambil kardus yang dia jejer di depan pintu keluar ini? Wkwk.

“Bhaiya, is this Jaipur?” tanya saya ke Mamang di belakang yang kalau dilihat-lihat cakep juga. Dia menunduk sebentar, melihat lewat jendela untuk memastikan sekali lagi. “Ji, Madam. Jaipur.” jawabnya sopan sambil menggedekkan kepala.

“Dhanyavad.” ucap saya sambil ikut menggedekkan kepala. Tiga kali bolak balik ke negara ini dan banyak berkomunikasi dengan orang India, not to mention pacaran dengan orang India, membuat saya bisa paham beragam arti gedekan ini. Saya bisa membedakan mana arti gedekan ‘ya’, ‘tidak’, ‘ayo’, atau yang bahkan tanpa arti apa-apa cuma gedek-gedek aja gitu. Wkwk.

Dengan selamat sentosa saya turun di Stasiun Jaipur. Saya memutuskan menunggu hari terang dulu dengan duduk-duduk di kursi di peron, main sama anak bayi bertatah bindi besar di keningnya dan memakai kohl di matanya yang tangan gempalnya sibuk meraih-raih saya. Melihat anaknya suka dengan saya, Ibunya tetiba melihat kesempatan dan menyorongkan bayinya untuk saya gendong. Makdikipe. ?? Ya mungkin beliau lelah ya gendong bayi ndut ipel-ipel ini selama dalam perjalanan. Jadilah kini si bayi gempal ini berada di pelukan saya, remas-remas pipi saya (Bachcha, jangan diremas turun pipinya Aunty ya), senyum-senyum, squeaking, sementara Ibunya di sebelah lanjut mengobrol entah dengan siapanya. Nih sumpah kalau saya mau jahat, bisa banget itu bayi saya bawa kabur loh. Ibunya selo tenan. ?

children-in-india

Ketika hari mulai terang, saya mulai membuka ponsel untuk memesan Uber. Masih dengan si bayi digendong di tangan kiri, membuat saya hanya bisa memencet tuts keypad dengan satu jari. Ribet bat!! Mana ni bayi pengen ambil ponsel saya lagi. Duile saya tetiba ngerasa macam emak-emak banget hingga kemudian saya sadar: HEY SEBENTAR!! INI BUKAN BAYI SAYA!! Ngapain saya ribet banget mau mencet keypad dengan bayi YANG BUKAN BAYI SAYA INI di gendongan?! Wkwk. Akhirnya, saya menghadap Ibunya lagi dan menyerahkan tampuk tanggungjawab itu kembali padanya dan meraih kemenangan perempuan lajang saya sekali lagi. I’M FREEEEEE!!

Hihihi.

 

Uber datang sekitar lima menit kemudian. Supirnya sopan sekali. Nggak kayak supir-supir di Delhi yang suka sebodo teuing (walaupun nggak semua ya, tapi kebanyakan gitu sih. Hihihi.), supir Uber saya di Jaipur ini keluar dulu untuk membukakan bagasi dan membantu mengangkat koper saya.

Padahal saya bisa angkat sendiri loh. Kan akuh kuat. Galon Aqua saja kuangkat sendiri. Wkwk.

Mobil berjalan, saya lihat kanan kiri. Sepanjang perjalanan, saya agak bengong.

Bok!!

Kok bersih?!

Jaipur adalah kota terbersih yang pernah saya kunjungi di India. Jalannya lebar-lebar, nggak macet (ya masih pagi banget juga gitu), nggak ada sampah berserakan, nggak ada sapi di tengah jalan, serius rasanya aneh sekali. Kayak bukan di India! ?

amer-palace-jaipur-india


Saya menurunkan tas dari punggung, membuka dompet, membuka kantong-kantong tas, menyisir seluruh isinya, mencari selembar kertas tanda peminjaman audio guide yang harus saya kembalikan di akhir perjalanan berkeliling Benteng Mehrangarh untuk kemudian ditukar dengan paspor saya yang ditahan.

SHIT!!
I lost it!!

blue-city-jodhpur-india

“Madam Indira.” suara seorang laki-laki mengagetkan saya. Dia berdiri di belakang meja dengan dua kotak berisi paspor di atasnya.

“Yes!” jawab saya bingung. Kok dia bisa tahu nama saya?

“Are you done going around the fort, Madam?” sahut lelaki satunya lagi.

“Yes! But wait, I need to find the paper. Can’t find it yet.” saya menjawab dengan tergesa. Agak grogi.

“How do you like the fort, Madam?” lelaki pertama bertanya dengan tersenyum. Suaranya tenang. Saya yang lagi agak panik jadi menengadah melihat ke arah dia, menarik napas dan tersenyum menceritakan betapa saya suka Benteng Mehrangarh ini.

Jujur, segitu sukanya sama benteng ini sampai saya masuk dua hari berturut-turut cuma untuk kelilingan dan diam-diam saja ngeliatin orang lewat (padahal tiket masuknya Rs600 lho – terhitung mahal kalau ukuran India). Hihihi.

mehrangarh-fort-jodhpur-india

“How do you know my name?” saya tiba-tiba teringat mau menanyakan ini.

“Madam, your passport, Madam.” sahut lelaki pertama sambil mengangsurkan paspor saya. Saya langsung cerah hati melihatnya.

“You dropped the paper near the audio rent counter, Madam.” sahutnya lagi sambil tersenyum.

WHAT?!

“My friend there call me to let me know your name. Your passport is here.”

OMG WHAT?!

Saya menerima paspor saya dengan hati bungah.

Kalau ini kejadian di Jepang, saya mungkin nggak segitu terpananya TAPI INI KEJADIAN DI INDIA!! Lelaki di balik konter itu juga nggak ada nada menyalahkan gitu. Biasa saja nadanya, dia lebih tertarik sama cerita kenapa saya suka dengan Benteng Mehrangarh malah.

Akuh terharu… :’)

mehrangarh-fort-jodhpur


Saya tiba sekitar pukul 6 pagi dan bingung.

Eh kan belum bisa check in ya. Kenapa saya niat banget langsung menuju penginapan? Gamang, maju mundur antara mau pencet bel atau enggak.

“Oke, pencet bel sekali saja. Kalau nggak ada yang keluar, jalan lagi saja dan duduk di mana kek, di temple kek di depan museum kek di mana kek yang bisa duduk untuk menunggu.” ucap saya ke diri sendiri.

Saya pencet bel sekali.
Tenenet… Tenenet… Tenenet… Tenenet… LAAAAAH BELNYA LAGU!! Duh duh duh, rasa hati saya makin nggak enak! Mana panjang banget lagi lagunya. ATUHLAH!! Saya mundur dua langkah dan menyesal memencet bel. Lagu masih berkumandang dan saya mulai keringat dingin karena merasa bersalah.

“Hi, good morning.” sebuah suara ramah menyapa dari balik pagar. Saya menengadah. Melihat seorang Ibu dengan saree lengkap membukakan pintu utama dan berjalan menuju pagar tempat saya berdiri. Wajahnya terlihat polos tanpa pulasan makeup, rambutnya dikepang, matanya masih terlihat mengantuk; OMG..

“I’m so sorry.. Did I wake you up. I’m terribly sorry.” ucap saya dengan cepat.

“No.. No.. No problem. I woke up already an hour ago to cook but then I sleep again. No worry. Come in..” ucapnya masih dengan ramah.

Jay, host saya, menyembulkan kepala dari balik pintu. “Hi! Bee?”

“Yes!!” jawab saya dengan ceria. “I’m sorry I come too early..” ujar saya cepat-cepat.

“No worries. That’s my mom.” ucap Jay menunjuk Ibu yang tadi membukakan pagar untuk saya. Saya mengangguk.

Jay mengantar saya ke kamar. “Here’s your room, it’s for two people but currently there’s only you staying here. I hope you’re not afraid or whatever. We have other dorm with six and nine beds but all filled with guys so I thought you will feel more comfortable staying here, even though all by yourself.” ucapnya.

“Perfect!” ucap saya.

Sejenak saya ngebatin, “Gila gila gila gila..”

Saya merasa diberkati sekali. Setelah enam jam di kereta tanpa tidur, kehadiran orang asing di satu kamar yang sama adalah yang paling tidak saya harapkan saat itu.

“Do you want tea? Or chai?” ucap Ibunya Jay yang muncul di belakang.

“Would love to have chai, if that’s not so troublesome.” saya nyengir membayangkan teh susu panas yang manis itu menemani pagi saya yang sudah begitu sibuk ini.

Tak lama kemudian, satu cangkir teh masuk ke kamar saya.

kehwa-tea-kashmir

“Take some rest well after drinking the chai, Dear..” kata Ibunya Jay masih dengan suaranya yang menenangkan. Saya mengangguk dan membungkuk. Pintu kamar saya ditutup dan saya duduk santai menikmai aliran minuman hangat itu masuk ke kerongkongan. Duh… Ramah dan kekeluargaan sekali sih Jaipurian ini. LAFF!


“Namaskar..”

“Namaskar..”

“Namaskar..”

Berkali-kali saya harus menunduk dan menganggukkan kepala menjawab salam dari penjaga Benteng Mehrangarh di Jodhpur. Everyone was so courteous!

“Namaskar..”

“Namaskar..”

“Namaskar..”

Sapaan yang selalu diucapkan warga lokal ketika saya lewat di depan rumah mereka sambil mengucap permisi.

umaid-bhawan-palace-jodhpur-india


“I’m a bit nervous with my trip to Rajasthan.” ucap saya ke Sandeep.

“Bee, of all places in India, Rajasthan is the safest to travel solo! You should not worry!”, jawabnya.

Akhirnya, saya melihat dan merasakan kebenaran omongan Sandeep. Rajasthan itu in a way India banget (apalagi Jodhpur), tapi di saat yang sama, terasa lebih ramah, lebih menyenangkan, lebih berwarna, dan khusus Jaipur: lebih bersih. Hihihi.

Saking menyenangkannya, saya sampai niat kalau mau ajak Mama ke India, HARUS BANGET saya ajak ke Rajasthan!

Eh eh, berdasarkan berita di sini, Indonesia akan free visa ke India lho. Entah kapan diberlakukannya ya (dengar-dengar sih tahun depan), jadi untuk yang tertarik mengunjungi India, cus laksanakan! Hehehe. Dan kalau ke India, jangan lupa ke Rajasthan ya. Nikmati warna-warni yang mencolok, makanan enak-enak, benteng-benteng yang megah dan terawat, serta dan keramahan Rajasthani yang menyenangkan.

Ahzek…

Senyum dulu ah.. 🙂


BACA JUGA:

  1. Rekomendasi Film India/Hindi
  2. Menikmati Bisingnya Jalanan India
  3. Sungai Gangga dan Kemahaannya
  4. Pejalan Perempuan Jalan ke India
23 Responses
  1. Suka tulisan ini. Banget.
    *Bingung mo komen apa lagi. Cuma berharap kalau berkesempatan ke Rajashtan dapet pengalaman yang sama menyenangkannya. 🙂

  2. Gallant Tsany Abdillah

    Biasanya aku baca tulisan tentang India itu kalo nggak karena kotor dan scam, ya keindahan kerala (dari blogger yg ikutan kerala itu). Baca tulisan kak Bulan soal India, yang bukan kerala, tapi bisa berbeda banget dari India yang kotor ini menarik.
    Alhamdulillah masih ada orang baik ya Kak Bul. 😀

    1. Alhamdulillah ya Mas Gal..
      On another note, komenmu jadi bikin aku mikir, apa standar bersihku telah menurun atau berbeda untuk tiap negara ya? Wkwkwkwk

  3. Aku suka Jodhpur. tinggal di rumah keluarga di Blue city yang dijadikan hotel dan masuk Mehrangah Fortnya gratis karena lewat belakang. Lha gimana, wong nggak tahu lagi jalan kaki trus tahu2 aku sudah di dalam (bukan maksud cari gratisan yhaa).
    Jaipur sih aku nginep di hostel, tapi seneng banyak bangunan bagusnyaaaa..

    1. Ini kejadian pas kami nginep di Old Delhi, di belakang Jama Masjid. Kami masuk lewat gerbang samping. Salat dsb trus foto-foto. Trus didatangi orang tua banget, narik-narik, tapi gak bisa ngomong bahasa Inggris. Tak kirain mau minta sedekah, dicuekin. Pas keluar lewat pintu depan, eeh, ternyata ada penjual karcisnya 😀
      Sungguh kutakbermaksud mau gratisan hwhwhw

      1. Eh, masuk Jama Masjid maksudnya? Setahu aku, harusnya, masuk situ gratis. Masuk semua rumah ibadah gratis lah gitu. Soalnya di booklet panduan wisata yang aku ambil tertulis demikian. Aku masuk Jama Masjid pun gratis dari Pintu 1. Tapi memang, temanku orang Korea Selatan masuk dari pintu yang berbeda kok diberikan tiket – yang mana tiketnya diminta lagi pas keluaaaar.. :'(( – plus diminta nitip sepatu (yang juga harus bayar lagi). 🙁

        1. Coba kali lain masuk dari Pintu 1 ya. Aku serius kayak melenggang doang nggak ada yang mintain. Cuma diminta untuk lepas sepatu aja dan boots aku masukkan ke tas karena juga nggak ada penitipan sepatu di Pintu 1 itu. Hihihi.

Leave a Reply