Hai hai.. Saya kini sudah bekerja!!
Bekerja sebagaiiiii……
SUPIR INFAL BUJENDRAL!!
Hahaha.. Ga, ga, becanda. Pak Totok sudah pulang kampung jadi sekarang saya menggantikan melaksanakan tugas mulia tersebut: mengantar Bujendral a.k.a mamah saya kemana-mana. π Pagi ini saya mengantar beliau ke kantor untuk mengikuti upacara perayaan hari kemerdekaan di kantor. Bujendral upacara, saya duduk di pos satpam, baca buku sambil megangin tas saya dan tas beliau. Angin semilir sepoi-sepoi, pu’un banyak, cuaca berawan adem, sip lah mari kita tidur. *HLOH?!*
Saat upacara sudah dimulai dan saya lagi baca buku sambil menahan kantuk, datanglah seorang bapak yang sudah tua, tergopoh-gopoh memasuki lapangan. Memakai seragam hijau tentara lengkap dengan topinya. Di dada kirinya tersemat banyak sekali atribut. Sepatunya hitam, model yang sudah klasik kalau tidak bisa dikatakan kuno. Ia menjinjing sebuah tas hitam. Veteran. Terlambat datang. “Bapak tunggu di sini dulu ya, nanti kalau sudah selesai pengibaran baru bergabung dengan teman-teman (veteran)”, ujar Pak Satpam dengan ramah. Ia mengangguk, berjalan dengan masih tergopoh ke arah saya. Saya sontak berdiri. Di situ hanya ada satu kursi, yang walaupun tadi sudah dihibahkan dengan mulia oleh Pak Satpam untuk saya yang manis ini, sepertinya tidak pantas lagi saya duduki. “Silahkan Pak..”, saya melipir sambil mempersilahkan beliau duduk. Ia mengangguk dan mengucap terimakasih. Saya menjauh, mencari tempat lain untuk membaca. Tapi kemudian saya urung. Saya tutup lagi buku saya, memasukkannya ke dalam tas, dan berjalan menuju bapak veteran tadi.
“Bapak rumahnya di mana?” saya berusaha membuka percakapan. Ia tersenyum dan menjawab, “Kebon Jeruk, Meruya.”. Lalu ia langsung bercerita, “Tadi diantar anak. Temen katanya ada yang mau ikut, jadi saya tunggu, eh ternyata tidak jadi. Jadi terlambat..”. Iiiiih, bapaknya asoooy.. Dicolek dikit langsung cerita!!! SIP!! Mari dilanjutkan!! *joget koprol di rumput*
Namanya Pak Kiswandi, usianya 85 tahun.
Ia bertanya, “Lho, kok tau nama saya?” ketika saya menyapa langsung dengan namanya. Saya, dengan muka melongo, menunjuk tanda pengenal nama di dada kanannya, ia terkekeh. Hihihi. Beliau sendiri lupa ada tanda pengenal itu, mungkin. :))))
Darinya saya baru tau, ternyata tidak semua pejuang itu disebut veteran. Ia lebih lama masa baktinya dari veteran lain. Ia berjuang dari tahun 1945 hingga tahun 1968. Ia masuk Pepabri (entah apa itu.. I better google about that but do give me a favor and google it yourself for further info? :p). Pembicaraan saya dan beliau berlangsung kira-kira satu jam. Satu jam yang penuh kenangan. Kenangan akan kesederhanaan penerimaan yang tidak pernah saya bayangkan.
Saya menunjuk tanda jasa yang berderet di dada kirinya. Ia bercerita, yang paling berharga hanya satu, yang berbentuk bintang. Itu tanda jasa ia sebagai pahlawan. Oh, tanda paling keren ya?? Paling keeewwlll??? Oh ternyata tidak, sesederhana tanda jasa itu adalah tanda ia bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan (nanti jika ia dipanggil ke pelukan Tuhan), semua kepengurusan pemakaman sudah akan diurus (dalam hal ini) oleh Kodam. Saya diam. Sesederhana itu? Sesederhana ia bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, sudah diurus semua kepengurusannya, dan (mungkin) makamnya gratis?? Saya terenyuh. Ia pejuang, yang berangkat dari Tasikmalaya menuju Jogjakarta dengan berjalan kaki selama satu setengah bulan. Yang kemudian dipindahkan ke Kalimantan dan Sumatra. Yang mengorbankan sekolahnya demi berjuang. Dan kelegaannya sekarang, setelah 67 tahun Indonesia merdeka, hanyalah karena nanti, pemakamannya sudah akan ada yang mengurus?? Sederhana.
“Gimana lihat Indonesia sekarang, Pak?” tanya saya santai. Dan jawabannya di luar dugaan. Saya kira ia akan merenung dan kemudian flashback dengan perjuangannya dulu (walaupun saya siap mendengar, I’m just not into history that much si.. Hihihi.. *maapkan sayah*) dan kemudian mengkritik pemerintahan atau anak muda sekarang, eh ternyata ia santai menjawab, “Yaaaa, setiap tahun saya diundang upacara ke sini, tiap tahun catnya ganti-ganti ya..” sambil menunjuk gedung Kantor Walikota. Saya bengong. Udah? Sebegitu doank Indonesia sekarang? Cuma catnya doank yang ganti tiap tahun? Bagaimana ini Pak Kiswandi?? Bagaimanaaaa?? Saya menuntut jawaban dramatiiisss.. *gojeng2 pundak Pak Kiswandi* Tapi ya begitu doank jawabannya. Sederhana. Dan manis.
“Setiap bulan, Bapak dapat uang dari pemerintah ya Pak? Cukup ga Pak?” Saya udah mulai iseng. Maapkan saya Tuhan karena saya kepo.. -______-. Dijawab (lagi) dengan santai, “Yaaaa, dicukup-cukupin. Kan cuma ngabisin (umur) aja sekarang. Jadi ya dicukup-cukupin aja.” Sederhana. Dan manis. Ia bahkan menjawab dengan tersenyum tulus. Saya bengong. Oh my, ini apa yang lagi Tuhan lakukan sama saya ya? Kok tetiba saya bisa jadi mellow gini mendengarnya penuturan Pak Kiswandi. Santai. Tidak mengeluh. Tidak mengkritik. Ia, menerima. Sesuatu yang masih harus saya pelajari dalam hidup saya; menerima.
“Bapak nanti pulang sama siapa? Dijemput sama anaknya lagi Pak?” tanya saya lagi. Untung Pak Kiswandi sabar. Mungkin dia pengen graut saya kali saking bawelnya nanya-nanya mulu. Hihihi. “Yaaaa kalau dia bisa jemput ya sama dia, kalauΒ ngga ya naik taksi aja. Kan deket ini. Ga mahal.” JRENG!! Santai. Ga mengeluh. Ga menuntut. Yaelah, saya?? Kalau Opie lagi sibuk ga bisa nemenin saya (iya, I’m talking bout my car here..), saya uda rempong aja ga mau pergi-pergi. -______-
Pak Kiswandi masih asyik bercerita. Tentang perjuangannya. Tentang istrinya yang juga adalah seorang pejuang Palang Merah. Tentang bahwa ia orang Jogjakarta tapi ketemu istrinya di Gombong. Tentang perjuangannya mengisi hidup setelah selesai berjuang untuk Indonesia. Saya menemukan oase. Ia hebat. Tidak hanya seorang pejuang dalam arti harafiah, ia juga adalah pejuang dalam hati. Berjuang dengan hati. Dengan ketulusan, tanpa mengeluh, tanpa pamrih, tanpa mengkritik, dan tanpa meminta predikat lebih dari siapapun juga. Ia menerima. Dan hanya berjuang untuk tetap menjadi baik sampai nanti usia di buku kehidupannya habis.
Upacara sudah selesai. Saya tidak sadar. Mamah sudah berdiri di seberang saya. Tersenyum melihat saya asyik ngobrol sama Pak Kiswandi. Saya mau beranjak, Pak Kiswandi mendahului berdiri sambil berkata “Saya duluan ya.. Saya harus ke sana.” menunjuk tempat dimana veteran lain berkumpul. Saya mengangguk.
Satu jam.
Satu jam yang mengajarkan saya untuk kembali bersyukur.
Untuk belajar menerima semua hal dalam hidup saya.
Untuk mengisi hidup saya dengan ketulusan dan kebaikan.
Untuk menghabiskan sisa usia di buku kehidupan saya.
Dengan sebaik-baiknya.
Bismillah.. π
Terimakasih ya Pak Kiswandi. Terimakasih untuk inspirasinya Semoga Bapak terus diberkati Tuhan dalam setiap apa yang Bapak lakukan hingga nanti dipanggil ke pelukanNya. Amin. π
Dirgahayu Indonesia.
MERDEKA!!
Senyum dulu ah.. π
hai,kaka. terimakasih.. atas publikasi pengalaman kakek saya. terimakasi ka π
terimakasi kaka sudah memuat artikel tentang kakek saya.. π
eh ternyata kamu komen di sini juga toh.. Maaf ya baru liaaaat.. Hehehe.. Kembali kasih sekali lagi Febri.. Salam utk kakek.. π