Bagaimana sih kalian mempersepsikan seorang ibu yang sukses?
Seseorang yang ‘seharusnya’ membuatkan bekal bagi anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah?
Seseorang yang ‘seharusnya’ memeluk anaknya dengan penuh kasih saat menangis?
Seseorang yang ‘seharusnya’ menerima anaknya apa adanya?
Seseorang yang ‘seharusnya’ selalu ada?
Saya sering berkata pada Dea, “Motherhood is hard..”. Saya sendiri belum menjadi seorang ibu, tapi sedikit banyak, karena jadi tempat curhat para ibu-ibu, jadi cukup mengerti bahwa motherhood is, indeed, hard.
Seorang murid saya pernah ketahuan mencontek di dalam kelas. Memakai kertas yang ia taruh di bawah meja, saya dapat melihat usaha kerasnya meluruskan kertas tersebut sehingga ia dapat melihat contekkannya namun sedapat mungkin membuat sang kertas tak terlihat mata saya. Terlambat. Saya sudah keburu melihatnya. Saya ambil kertasnya dan saya lihat. Emosi saya turun seketika karena saya tidak melihat tulisan tangan si anak di kertas tersebut. Ia berkata, ibunya lah yang membuatkannya kertas contekkan itu. “Kata mama, supaya nilainya bagus, Miss..”. Saya terperangah. Anak ini bukan anak yang kurang, malah bisa dibilang cukup pintar. Apa ibunya tidak memercayai kemampuan anaknya sendiri? Apa yang membuatnya rela membuat kertas contekkan dan menyuruh anaknya memakainya? Persepsi bahwa memiliki anak dengan nilai (mendekati) sempurna di sekolah adalah kenaikan pamornya sebagai seorang ibu? Persepsi bahwa ia harus menjaga nilai anaknya sedemikian rupa (bagaimana pun caranya) untuk menunjukkan pertanggungjawabannya sebagai seorang ibu? Siapa yang membuat persepsi-persepsi tersebut? Siapa yang menaruh seorang ibu dalam kotak persepsi tersebut?
Salah satu buyer saya sering konsultasi tentang perkembangan anaknya. “Wajar ga sih Buy, belum bisa ngomong ini, belum bisa itu. Padahal sepupunya udah. Aduh mau aku sekolahin aja deh ni..” Saya terkekeh saja saat itu menghadapi kekhawatirannya. Anaknya saat itu baru satu tahun lebih tiga bulan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebenarnya. Bagi saya, selama tidak tertinggal jauh, tidak perlu dikawatirkan. Perkembangan setiap anak berbeda-beda, ada yang sampai dua tahun belum bisa berjalan. Ada yang baru sepuluh bulan sudah berjalan. Ada yang sampai dua tahun masih berkata “A.u” untuk ‘aku’ (yaitu saya!!) dan ada yang dua tahun sudah lancar cas cis cus. Jadi memang setiap anak perkembangannya berbeda-beda. Kenapa buyer saya ini sebegitu khawatirnya? Persepsi bahwa kalau anaknya samarata perkembangannya dengan anak lain maka ia sukses menjadi seorang ibu? Atau dibalik, persepsi bahwa jika anaknya tidak samarata perkembangannya dengan anak lain maka ia tidak sukses menjadi ibu yang baik? Siapa yang membuat persepsi tersebut? Siapa yang menaruh seorang ibu dalam kotak persepsi tersebut?
Seorang blogger, pernah menerbitkan sebuah post, cerita dibalik kelahiran anaknya. Saat itu, ia sedapat mungkin memberikan ASI eksklusif bagi anaknya namun ternyata ASInya belum keluar. Ia menahan diri demi memberikan ASI eksklusif namun akhirnya tidak tahan karena anaknya haus, menangis terus, dan ASInya sendiri tidak keluar-keluar juga; ia pun meminta suster memberikan susu formula untuk anaknya. Dengan kalimat memohon maaf kepada ibu-ibu pengusung ASI eksklusif (yang kadang, bagi saya, saking ‘eksklusifnya’ malah jadi seperti memojokkan ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI eksklusif) atas keputusannya meminta suster memberikan susu formula sementara bagi bayinya. Jadi, apa dengan meminta suster memuaskan rasa haus bayinya walaupun dengan susu formula, ia bisa dikatakan bukan ibu yang baik? Siapa yang membuat persepsi itu? Siapa yang menaruh seorang ibu dalam kotak persepsi tersebut?
Memang, menjadi seorang ibu bukan hal yang mudah. Dan menjadi lebih tidak mudah dengan adanya semacam keharusan dalam memenuhi persepsi akan bagaimana seorang ibu yang baik seharusnya, di masyarakat.
People do forget, bahwa apa yang menjadikan seorang ibu berpredikat sukses adalah apa yang dirasakan seseorang yang membuatnya menjadi seorang ibu, yaitu anak. Maka bila anaknya sendiri berkata bahwa ibunya adalah ibu yang baik dan sang anak tidak ingin mendapatkan ibu yang lain selain ibunya sendiri, why bother the social perception? It is more to the bond, I believe. And bond is beyond scores, check lists of abilities, and milk. 🙂
Senyum dulu ah.. 🙂