Terima kasih Mama

Sudah dua hari ini saya menyetir dengan pikiran mengawang. Salah satu awangan saya bermula ketika Uta berkata di suatu sore
“Ibu, kita ga jadi ke toko buku ya? Ibunya sibuk terus. Pulang malam. Nggak jadi ya?”
Antara capek yang luar biasa dan miris hati, saya hanya bisa menjawab “Tunggu sebentar ya, Dek, nanti ibu agak kosongan, kita ke toko buku ya..”
Untung dia mau mengerti.
Tapi lalu saya jadi berpikir. Jadi ingat Mama saya.
Mama saya mama yang hebat. Sepertinya saya tidak pernah sampai harus mengonfirmasi hal-hal seperti yang Uta konfirmasikan ke saya, pada Mama saya. Mama saya selalu berhasil memberikan banyak pengalaman pada anak-anaknya.
Saya tidak mengerti apa semua ibu seperti Mama. Tapi saya mengingat beberapa memori yang sangat membahagiakan berikut – yang sampai sekarang masih membuat saya tersenyum bahagia mengingatnya.

  1. Saya ingat, kami bertiga di dalam mobil. Saya, Abang, dan Mamah. Saya masih SD. Memakai terusan baju kodok bergaris putih ungu lebar-lebar (ternyata sudah terlihat bibit-bibit kesintingan sejak muda, siang-siang pake baju kodok panjang garis-garis pula. Kurang meriah apa?!), saya ingat kami tertawa-tawa sepanjang perjalanan. Ke mana kah kami saat itu? Ke pameran pesawat terbang! Tempat pastinya saya lupa, sepertinya Halim. Momen yang teringat adalah kami berfoto di depan mobil Pak BJ Habibie dengan plat nomor N250. Deeeee…Bangga banget deh waktu itu. Hehehe. Momen lain yang teringat, saya dan Abang tertidur pulas di mobil dalam perjalanan pulang, dan Mamah menyetir sendirian. Tanpa mengeluh.
    Baik ya Mama saya.
  2. Saya ingat, lagi-lagi kami bertiga. Lho, ke mana papa saya? Hehehe. Papa sibuk mengurus bisnis.
    Kalau tidak salah saat itu saya masih TK (atau SD kelas-kelas awal, karena saya masih kecil banget). Mama memegang saya di tangan kiri dan Abang di tangan kanan. Kami berlari-lari kecil di sekeliling truk container besar-besar di Tanjung Priok. Untuk apa? Oh well, Abang saya tertarik dengan truk-truk itu; dan Mama, dengan kenekatan ala preman dan senyum manis ala perempuan lajang (eh??) memutuskan untuk memberi kami pengalaman langsung berdekatan dengan truk-truk container itu dengan mengunjungi Tanjung Priok!
    Saya ingat, kami berlari-lari kecil, dan tiba-tiba dari dalam kantor berhamburan tiga atau empat orang Bapak-bapak dan semuanya berteriak “ITU ADA IBU-IBU SAMA ANAK-ANAK ITU SIAPA?” Lalu seorang satpam berlari ke arah kami sembari mengacungkan bendera merah.

Kami nggak paham kenapa awalnya, tapi ternyata mereka takut kami tertabrak truk-truk besar yang sedang seliweran itu. Tinggi Mama sekitar 158 cm, minim sekali terlihat kalau pas di depan truk karena posisi supir truk tinggi dan badan Mama bisa tertutup badan truk.
KAMI SELAMAT. TENTU SAJA.
Kalau nggak selamat, tulisan ini nggak akan terbit dong. Hehe.
Mama berbicara dengan bapak-bapak di dalam kantor itu. Sepuluh menit kemudian kami di mana? Di atas sebuah truk container! Ditemani seorang bapak supir dan seorang kenek, kami mengelilingi jalan di depan gudang container itu. Padahal truk itu belum waktunya jalan. Jadi memang spesial. Spesial mengajak saya dan Abang berkeliling. Dari situ saya tahu, truk container itu ada tempat tidurnya di belakang kursi supir. Cukup besar tempat tidurnya. Kata pak supir, mereka gantian tidur di situ karena membawa truk container itu sangat melelahkan. Mama saya hebat sekali ya bisa memberikan pengalaman seperti itu ke anak-anaknya.
3. Saya ingat, ketika SD, Mama menanyakan tentang cita-cita saya. Saya jawab, saya ingin kerja di pabrik. Bagi saya, kerja di pabrik itu adalah sebenar-benarnya kerja. Bekerja di balik meja seperti Papa saya ya bukan bekerja namanya. Hehe. Sampai sekarang saya masih ingin punya pengalaman kerja di pabrik, btw.
Kali lain Mama bertanya lagi, karena kerja di pabrik itu angan-angan yang kejauhan, maka saya bilang saya ingin jadi tukang sayur. Enak kayaknya berjualan itu. Sibuk melayani. Eh tak disangka tak diduga, pada suatu pagi di hari Minggu, Mama mengajak saya ke pasar. Saya tak ada pikiran buruk apa-apa eh ternyata, saat berbelanja di kios sayur langganan, Mama berkata ke penjual sayurnya, “Bu, titip Bulan ya..Katanya dia ingin jadi tukang sayur..Biarin saja belajar bantu-bantu ya, Bu..” dan JRENG Mama meninggalkan saya. Wkwk.
Cengengesan takut-takut saya mengikuti ibu penjual masuk ke dalam kios. Lalu ibu itu bilang “Itu mbak Bulan, wortelnya dikeluarin dari karung, taruh di depan.”
WOW!! Saya beneran jadi tukang sayur!
Penuh semangat saya menata wortel-wortel itu di depan kios. Lalu pasar mulai ramai lah. Setiap ada yang beli, si ibu penjual meminta saya yang mengambilkan, saya menunjukkan porsinya ke beliau apa sudah pas, jika ya, saya membungkusnya dengan kertas koran, mengikat dengan karet dan menghitung total belanja sang pembeli. Asik banget!! Mengetik cerita ini. Saya jadi kangen berjualan di pasar! Hihihi. Oke banget kan Mama saya. Selalu kasih peluang untuk saya berkembang (salah satunya menjadi tukang sayur)
4. Saya ingat, masih ketika SD (memang banyak kenekatan dilakukan saat SD ya, kan masih nggak tahu malu dan nekat saja), saya punya banyak koleksi buku cerita. Di keluarga saya, untuk buku, Mama dan Papa akan mengusahakan uangnya sedemikian rupa. Tapi untuk mainan, mari duduk bersama dan dihitung bagaimana kami akan membayarnya. Hehe. Karena gratisan, buku saya menumpuk. Jauh lebih banyak dibanding koleksi buku teman-teman seumuran saya. Maka suatu hari, saya kepikiram sebuah ide. AHA!
Tas yang biasa saya taruh di keranjang depan sepeda, saya taruh di punggung dan di keranjang depan, saya taruh banyak buku saya. Saya bawa ke sekolah. Sampai di sekolah, saya jejer lah itu buku. Teman-teman langsung mengerubungi.
Baca buku gratis?
ENAK AJA!! ENGGA DOOONK!! (Sudah Cina dari kecil) Hahaha.
Kan saya butuh uang untuk beli mainan, jadi di halaman depan buku, saya sudah tulis biaya peminjamannya. Ada yg Rp100 ada yg Rp200, tergantung tebal tipis buku. Dan kalau menurut saya bukunya bagus, harganya jadi lebih mahal. Hihihi. Subjektif banget ya.
Laku lho penyewaan buku saya. Sampai kemudian, sekolah merazia. SIGH. Buku-buku saya lemparkan ke luar jendela. Dodol  banget saya lupa di luar kelas saya itu ada got saluran air. Basah lah semua buku itu. Hiks. Pulang sekolah sih saya nggak nangis, saya tau saya dodol dan malu kalau nangis karena kedodolan diri sendiri. Hihihi. Jadi saya menjemur buku-buku itu saja. Mama melihat, saya ceritakan kejadian razia buku di sekolah dan besoknya JRENG, Mama saya ke sekolah lho! Hahaha.
Mama keberatan kalau yang dirazia adalah buku. Mamah berkata ke Kepala Sekolah saya, “Kalau mainan ya silahkan dirazia, tapi kalau buku, jangan, itu kan pembuka ilmu.” Kepala sekolah setuju sama Mama, beliau malah baru tahu ada buku yang dirazia. Bisnis penyewaan buku saya pun selamat serta kembali marak. Hehe. Saking ramainya, di bulan berikutnya, saya bisa membayar uang sekolah (yang waktu itu Rp3500) sendiri. Ya iyalah bisa, menyewakan 20 buku juga sudah dapat tu uang sekolah yekan. Hihihi. Baik ya Mama saya. Mau berbaik hati membela bisnis anaknya ini.
Sampai sekarang empat momen ini yang terus teringat dalam awangan saya. Betapa saya menyadari Mama saya adalah Ibu yang luar biasa. Kalau saya jadi Ibu, saya ingin menjadi ibu yang baik dan hebat seperti Mama. Susah kan, makanya saya mending nggak usah jadi Ibu saja. Hihihi.
Sampai kapan pun, bagi saya, Mama adalah orang yang akan paling bisa menerima dan mengerti saya – walau terkadang dengan caranya sendiri.
Ma, BuJendral, Ibu Kitumi, Bu Boss, makasi banyak ya sudah kasih aku pengalaman luar biasa sepanjang hidup. Aku tahu Tuhan pasti tersenyum karena ada satu umatNya yang sebegitu mampu menjaga apa yang telah dianugerahkan padanya. Dan semoga Tuhan jg tersenyum karena ada satu anakNya yang begitu bersyukur memiliki sang umat itu.
Selamat Hari Ibu, Mah..22 Desember 2010..
I love you.
Senyum dulu ah.

Related Posts

1 Response
  1. silk

    Bulan, aku suka sekali tulisanmu yang ini.. dan mama mu hebat yaa.. hehehe.. pantes kamu sekarang jualan sayur sambil bawa truk kontainer. bakat yang diasah dari kecil rupanya.. 😀 😀

Leave a Reply