Bapak di Sebuah Elevator

β€’
β€’0

Kemarin saya ke kampus cepat sekali. Kuliah jam enam tapi jam tiga saya sudah di kampus. Janjian sama popo mau ketemu dulu. πŸ™‚
Selesai parkir, saya sempat dua kali bolak balik ke Bombom karena plinplan mau bawa binder saya saat itu atau nanti balik lagi aja. Akhirnya diputuskan nanti balik lagi. Sambil misuh-misuh mendodolkan diri sendiri yang kurang efektif bergerak, saya memijit lah tombol elevator. Tidak berapa lama elevator terbuka dan saya masuk.
Bau pesing menyeruak dari dalam elevator. Saya sempat bingung, bau darimana itu? Saya melihat bapak di depan saya. Saya tidak sempat melihat wajahnya ketika masuk tadi (karena sibuk sama Blackberry, yea rait Bulan, go nuts with your Blackberry!! *sigh*), tapi posisi berdirinya memang sedikit aneh. Beliau berdiri menyerong dengan kedua tangan memegang dinding dan kaki terbuka agak lebar. Sepertinya, mungkin, maaf, beliau pernah kena stroke sehingga butuh kedua tangan untuk menopang badannya supaya tidak limbung. Saya melihat ke bawah dan benar adanya. Beliau yang peepee. Mungkin sudah tidak tahan. Mungkin toilet di gedung ini jauh dari jangkauan sehingga beliau terpaksa peepee di elevator. πŸ™ Saya menunduk dalam diam. Menahan tangis. Tiba-tiba inget papah. (Dan yah, nangis lagi deh sekarang. πŸ™ Adoh Bulaaaaan. Cengeng amat sik!!)
Bukan tentang peepee-nya. Tapi saya bersyukur saya hidup dengan papah dan dengan sakit beliau. Maaf, bukan ingin salah bermain kata di sini, bukan saya bersyukur papah saya sakit, tapi saya bersyukur saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa jadi orang yang lebih bersyukur untuk kesehatan dan lebih bertenggangrasa pada mereka yang sakit. Ini saya dapat dari hidup bersama papah. Dengan mencoba mengetahui keadaan beliau dan penyakitnya, saya jadi tahu bahwa tidak semua orang se-fit saya. Tidak semua orang sesehat saya. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Saya hanya harus menaikkan level penerimaan saya lebih tinggi lagi untuk dapat tersenyum pada mereka. Legowo. Dan fakta bahwa bapak di elevator ini masih mau berusaha untuk hidup dengan berkegiatan, bagi saya lebih dari cukup.
Tidak berapa lama, elevator sampai di tempat saya mau keluar. Bapak itu, terseok-seok mencoba menarik kakinya satu demi satu untuk dapat keluar dari elevator. Saya sejujurnya ingin memeluk beliau, memapahnya keluar. Seperti saya ingin memeluk semua orang yang mirip dengan papah saya. Hanya untuk sedikit merasakan kehangatan seorang ayah lagi. Tapi kali ini saya tidak mampu. Tangan saya terpaku di tombol untuk menahan pintu supaya tetap terbuka supaya tidak melukai sang bapak.
Dua langkah keluar dan beliau seperti baru tersadar kemudian kembali menghadap elevator. Saya bertanya, “Bapak mau kemana? :)” Selembut mungkin. Sesabar mungkin. Supaya beliau tidak panik dan terburu-buru berusaha masuk elevator kembali. Bapak itu hanya diam, ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya syaraf tubuhnya sudah tidak berkompromi. Mungkin bingung antara mau melangkahkan kaki, berpegangan dengan pintu supaya badan tertopang, atau menjawab pertanyaan saya. Beliau hanya memberikan matanya pada saya. Mata coklat dengan lingkar bening di sekeliling pupilnya. Mata yang terus menatap saya seakan ingin mengatakan sesuatu. Mata yang masih saya ingat dengan jelas sampai sekarang.
“Bapak mau masuk kembali, Pak?” tanya saya lagi. Maafkan ketololan saya, Tuhan. Untuk apa coba saya nanya lagi? Sudah tahu bapak ini sudah susah mengoordinasi syaraf tubuhnya, saya masih merecokinya dengan pertanyaan bodoh saya. Akhirnya dengan tangan kanan memegang tombol menahan pintu elevator, tangan kiri saya, saya angsurkan padanya. Ia menerima. Dan beruntung bapak berjaket hitam di sebelah saya (hanya tinggal saya dan bapak berjaket hitam itu di dalam elevator) tanggap dengan keadaan ini. Beliau bertanya pelan sambil ikut membantu, “Mau masuk, Pak?”
Bapak menjawab dengan terbata, “Ma-suk. Ma-suk.” Brasssss, saya mbrebes mili. Tuhanku, mengucap satu kata dengan dua silabel saja beliau sudah susah. Saya dan bapak berjaket hitam akhirnya membantu bapak ini masuk dulu ke dalam elevator lalu bapak berjaket hitam menanyakan apa saya mau turun di lantai itu. Saya jawab, “Ya.” dan saya keluar.
Habis itu saya ketemu popo, saya menahan tangis saya. Untung popo mengerti dan tidak malah mencemooh saya. Kalau popo mencemooh, mungkin saya nangis kelara-lara saat itu. :'( *pelukpopo*Β Menyesal? YA!! Sejujurnya saya menyesal. Kenapa saya harus buru-buru keluar. Kenapa saya tidak menemani dan membantu bapak itu untuk sampai di lantai dan tempat yang ia kehendaki. Kenapa saya terlalu cengeng untuk bisa tegar membantunya. πŸ™
Kadang, Tuhan hadir dalam wujud yang tak pernah kita sangka ya. Dan Tuhan hadir memberikan pelajaran di waktu dan tempat yang juga tidak saya sangka. Kalau tadi saya ga pake bolak balik ke Bombom dua kali, pasti saya ga se-elevator dengan sang bapak. Pasti saya terus cuek dengan Blackberry saya. Pasti saya menjalani hidup dengan biasa saja. Tapi dengan bertemu sang bapak, saya jadi kembali bisa bersyukur sama Tuhan. Kembali bisa merasakan getaran untuk kembali padaNya.
Terimakasih ya Tuhan. Terimakasih ya bapak.
Dalam jalan saya, saya berdoa semoga bapak selamat dan selalu berada dalam peluk kasih Tuhan. Amin. πŸ™‚
Senyum dulu ah.. πŸ™‚

—————————————————————————————————————————–

Tambahan: Ini kenapa ya saya mellow begini beberapa hari terakhir ini? Bukan karena PMS sih, tapi ga tau juga kenapa. Kemarin saya ‘mengunjungi’ papah dan saya mewek aja loh. Padahal saya jarang sekali menangis ketika ke makam beliau. *sigh* Maybe just because I miss him dan sedih karena udah jadi anak yang ngecewain beliau. πŸ™ Maap ya Pak Mayon Soetrisno. πŸ™

Iya, iya, sempet2nya saya foto pas lagi nangis kmrn.
Hihihi. Mana foto ini semakin menjelaskan
kekurangmancungan hidung saya lagi. *sigh*
*mewek lagi*
*untuk alasan yang beda*

Related Posts

Leave a Reply