Tujuh bulan sebelum keberangkatan, tiket sudah di tangan. Belinya pake drama. Drama karena satu teman rempong ngambek (di media sosial), merasa nggak diajak. Hadoh.. Perasaan umurnya lebih tua daripada saya, tapi ambekannya lebih besar. Sebesar bada… *okeskip* Hihihi.
Anyhoo, banyak yang bengong pas saya bilang mau ke Filipin (yang penulisan nama negara dengan benarnya baru saya ketahui seminggu sebelum berangkat), katanya, “Ada apaan memang di sana, Lan?!” Oh well oh well, ada Pinoy sih banyak, begitu saja pake ditanya!! *sewot!!* Hihihi.
Ternyata, saat saya baca buku dan googling tentang negara ini, huah, negara ini menyimpan banyak objek menarik lho! Ya kalau saya, dikasih gereja dengan arsitektur indah saja sudah klepek-klepek sih, jadi nggak objektif memang secara Filipin menawarkan BANYAK sekali gereja (dan karena ada pengaruh peninggalan Spanyol dalam historinya, jadi ya, kalian terbayang kan gerejanya keren macam apa. Hehehe.) Tapi selain gereja, banyak tempat indah di Filipin. Kali ini berkat Tuhan baru mengantar saya ke Manila dan Boracay. Insyaallah kalau ada rejeki, mau balik lagi untuk explore daerah lainnya. 🙂 Amin.
Manila oh Manila..
Ini perjalanan yang paling menyesakkan hati (dan kantong). Hari pertama di Manila, kami sudah ‘kerampokkan’. YUP!! ‘Dirampok’!! Kenapa pakai tanda kutip? Karena kami dirampok sama pengemudi kuda yang baik jalannya dan sama pemandu di Chinese Cemetery, bukan maksudnya dompet kami diambil begitu. Hehehe.
Awalnya, di pagi hari, kami jalan kaki menuju Intramuros (kota tuanya Manila), pas sudah jalan lumayan jauh kami berpikir mau coba naik horse cart. Pengemudinya bapak tua yang gundul tanpa pacul dan giginya sudah nggak ada. Hihihi. Deal harga 250peso per setengah jam. Naiklah kami, jalan keliling-keliling. Nggak ada perasaan buruk apa-apa, kan saya anaknya selalu mencoba berpikiran positif. Hihihi. (Tapi sejujurnya, sepulang dari India, saya agak minim persediaan berpikir positifnya. Perasaannya, pas di akhir pasti ada saja yang minta tambah ini itu. Hehehe. *salah siapa coba?*). Setelah berkeliling kira-kira 3.5jam, saat mau ke Chinese Cemetery, kudanya kayak sudah capek, mulai tak bertenaga. Sang bapak kusir sempat mengelus pinggul kuda dan bilang, “Tired.. Tired..“; saya jawab, “Oh poor thing..” dan saya tanya apa masih jauh Chinese Cemeterynya? Dia bilang sudah dekat. Ya baiklah. Tadinya kalau masih jauh sudah saja nggak usah dipaksakan, sudah mau gelap juga. Ya masa ke kuburan gelap-gelapan kan?? *meringis*
Sampai di Chinese Cemetery, sang bapak kusir ini meminta temannya untuk jadi pemandu. Masuk Chinese Cemetery ini memang harus sama pemandu. Saya sempat bertanya fee untuk pemandu itu, pak kusir jawab, “Cheap.. Cheap..” — Bahasa Inggrisnya dia memang nggak lancar. Saya bertanya lagi ke pemandunya langsung, dia jawab, “Cheap, Mam. Up to you.“. Okelah. *menulis ini, saya jadi yakin bahwa ‘up to you‘ itu sungguh terminologi yang ambigu.. :(*
Masuk lah kami ke Chinese Cemetery. Sambil mendengerkan cerita pemandu, kami berjalan di jalan-jalan kecil di antara makam-makam mewah. Matahari sudah jauh turun jadi kami gelap-gelapan di kuburan. LUAR BIASA KAN!! Di Indonesia berada di keadaan seperti itu sih saya kabur! Hahaha.. Karena sudah gelap, saya bilang sudah cukup jalan-jalannya. Anjing-anjing sudah pada melolong, entah apa yang mereka lihat. Haduh. 🙁 Miu dan Uni juga setuju untuk sudahan saja berkeliling kuburannya. Dengan baik hatinya kami kasih 150peso ke pemandu. Itu jalan-jalannya nggak sampai satu jam, jangankan satu jam, 45menit saja sepertinya tidak. Cuma sebentar sekali! Eh, pemandunya menertawakan kami saja dong! Dia ga mau 150!! SEMPRUL!!
Jadi saya tanya, berapa? And guess what?! He asked for 1500peso!! Huanjeng!!*eh aduh maaf ya kasar.. Maaf ya adek-adek..*
Posisinya adalah kami, di tengah kuburan, malam-malam, diminta 1500peso, keadaan sepi tidak ada siapa-siapa. Kalau pemandu ini memutuskan untuk mengerjai kamim, kami nggak bisa apa-apa. Saya tawar 1000peso dan dia tetap tidak mau. APA LACUR HAH?! Ahirnya demi keselamatan diri, kami bayar lah itu 1500peso sambil misuh-misuh nggak rela (ya menurut ngana?!) lalu jalan buru-buru ke luar. Sampe luar, kami liat pemandu tadi menyelipkan uang ke kusir kami. Kami (sekali lagi) masih berpikiran positif. Oh, kalau dibagi sama kusirnya ya tidak apa deh. Hitung-hitung berbagi rejeki. *kurang baik apa coba?* *lempar petasan* *eh aduh banyak kekerasan di post ini. Aduh maaf ya adek-adek. *susah deh kalau banyak anak SD baca blog saya.* -____-
Kami naik horse cart lagi lah. Tadinya minta diantar ke Manila Bay tapi karena kudanya suda terlalu capek, sang kusir bisanya cuma antar kami ke Stasiun LRT terdekat. Ya sudah, tidak apa.
Pas di jalan, Miu minta saya bertanya ke pak kusir berapa total yang harus kami bayar. Dia bilang, “Seven thousand five hundred, Mam..“, saya yang lagi lieur dan kehausan bilang ke Miu, “Tujuh Ratus Lima Puluh, Miu..” terus menengok lagi ke depan. Sepersekian detik kemudian, saya panik dan bilang, “WHAT??“, trus bertanya lagi ke pak kusir, “You said, seven thousand five hundred?“, dia jawab, “Yes Mam, four and a half hour, Mam..“
Sumpah itu otak saya sudah nggak bisa berpikir 4.5jam kali 500peso itu berapa. Blank. Yang saya mau cuma turun atau mendorong itu pak kusir sampe dia kejengkang ke bawah. HIH!!! *bacok-bacok pala gundul* HIH!! *hiyak, oke, adek-adek, ini saatnya kalian menutup laman ya.. Tutup ya, ganti nonton MikiMos saja ya.. :)*
Dengan sisa tenaga dan emosi yang memuncak, saya jadi berkeras juga melawan pak kusir. Saya bilang nggak mau bayar segitu. Saya mau bayar 2500 saja. *barusan menghitung pakai kalkulator, itu saja sudah saya tambahkan 250peso!!* Dia jawab, “Yes Mam, 2500 each Mam. WHAT THE? *fuck-nya disimpan dulu, takut masih ada adik-adik yang baca* Saya dibegitukan makin menjadi galaknya. Jadi saya ceriwis lah itu pakai Bahasa Inggris dengan mata memberang kesal dan tanpa senyum. Pak kusir pakai bilang, “For my family, Mam. No work tomorrow, Mam. For horse eat, Mam.” dan tahu kah kamu, tiba-tiba matanya dia berkaca-kaca!! SIAUL!!! Pintar banget sih memainkan psikologi orang!! *jatuh luluh*
Eh tapi enggak, saya tetap galak. Saya sampai bilang perkataan yang sangat-sangat saya hindari untuk dipakai berbicara ke orang, “Well, that’s your problem!! I don’t care if you don’t have work tomorrow or that you and your family is hungry. I don’t care!! It’s either you take the 3000peso or let us get down here and you get nothing!!” (sudah kami naikan jadi 3000peso itu ya Tuhan.. Kurang apa? Huhuhu). Dia terus-terusan minta lebih, lebih, dan lebih dan akhirnya saya capek dan dengan sedikit teriak berkata:
THREE THOUSAND FIVE HUNDRED PESO IS FINAL!!
DO YOU WANT TO TAKE IT OR NOT?
IF NOT, DROP ME HERE!!
I DON’T CARE BOUT YOU AND NO WORK THINGY FOR TOMORROW!!
YOU TAKE IT OR NOT!!!
Ya ampun, sabar Bulan sabar.. Orang sabar disayang Tuhan.. *elus-elus dada*
By the way, saya yang lagi marah-marah ini dilihat orang-orang di jeepney depan. Sial. Bagaimana ini predikat princess saya? Hih.. Ini salah pak kusir!!
Akhirnya, dia oke sama 3500peso. For Lordness Sake, itu sejuta loh. Sejuta buat naik andong keliling Manila selama 4.5jam? You gotta be kidding meeee!! *kirim surat keberatan ke pemerintah Manila* *siapa saya?!*
Dan kami akhirnya nggak mau diantar sampe Stasiun LRT. Kami melipir saja ke SM Mall (entah waktu itu SM mana, deket Stasiun LRT Tayuman lah pokoknya), mendinginkan diri sambil makan malam. Sedih dan blank banget saya kala itu. Saya ke Filipin cuma bawa uang 8800peso. Ada sih uang di ATM tapi kan kalau nggak perlu-perlu banget nggak mau saya ambil. 🙁 Sedih banget beneran!! 🙁
Tapi, lucunya, walaupun kami kena musibah itu, nggak ada yang kesal-kesalan. Setelah mendinginkan diri, tetap saja pada tertawa-tawa lagi cerita ini itu. Tetap saja keliling mall lihat-lihat barang. Dan tetap saja cengengesan. Hihihi.
Selesai mendinginkan diri itu, kami akhirnya jalan kaki ke Stasiun LRT. Si pak kusir sempat bilang kalau daerah itu daerah rawan, tapi ya sudah lah ya masa iya sini mau sama situ lagi pak. Pfft! Dengan sisa pikiran positif yang ada, jalan lah kami di jalan yang gelap dan bau pesing serta banyak orang tidur-tiduran di pinggir jalan. Kami naik LRT dan turun di Stasiun Quirino lalu bengong. Ini ke arah mana ya sekarang? Hahaha. I am map reader tapi petanya Manila itu sungguh sangat tidak membantu. Benar tidak jelas mana di mana anak kambing saya. Hihihi.
Sempat bertanya sama supir tricycle. Dan dengan galaknya bilang, “Just tell me which way to go and I’ll walk!” pas dia nawarin jasanya. Hahaha. Maap ya Bang.. *pukpuk* Kami jalan, jalan, dan jalan dan sudah ketemu jalan tempat hostel kami berada tapi jalannya ada yang ke kiri dan ke kanan. Jadi, kami ke mana? Hahaha. Daerahnya sama sekali baru, nggak seperti yang kami lewati tadi pagi saat ke hostel. Bagaimana ini?! *tepokjidat*
Ada supir tricycle lagi (yang kerja sambil bawa anak, ini umum loh di Manila orang bekerja, menarik becak sambil bawa anak) yang menawarkan jasa, tapi dia sendiri nggak yakin. Jadilah daripada sebal, mending kami jalan saja. Sudah jalan kira-kira 800meter, aura lingkungannya kok kayaknya makin jauh ya dari lingkungan hostel kami?! Hahaha. Bertanya sama orang dan nggak ada yang tahu, akhirnya ketemu supir tricycle yang tadi dong. Dia bantu bertanya ke supir taksi, ke orang-orang, dan dia menawarkan naik tricyclenya lagi. Kami ternyata salah arah. Harusnya tadi ke kanan, kami ke kiri, jadi mesti balik lagi. PR juga ya kalau harus jalan kaki lagi, sudah capek soalnya. Jadi saya bertanya berapa kalau naik tricycle dia, dia jawab, “It’s up to you, Mam..” Oh, no no no no. No up to me again.. *trauma* Hihihi. Saya bersikukuh dia harus menyebutkan nominal dan dia minta 100peso. Saya tekankan lagi 100peso itu total, tidak ada tambahan lagi, dan 100peso itu untuk bertiga. Dia jawab iya. Oke lah, mari!
Memang ya, habis hujan ada pelangi. Ya anggap saja pak gundul dan pemandu kuburan tadi itu hujannya, nah supir tricycle ini pelanginya. Dia belum tau lokasi persis hostel kami di mana, tapi dia mau untuk bertanya sana sini. Satu kali dia bertanya, dan akhirnya saya bantu bertanya ke orang tapi suara tricyclenya berisik jadi saya minta dia mematikan mesin tricyclenya dulu, eh saya baru tahu, untuk menyalakan motor itu lagi, dia harus membebat tali di kumparannya lalu ditarik. Seperti mesin untuk cacah kelapa itu. 🙁 Kasihan.
Supir tricycle ini baik, dan mau mendengarkan kalau kami bilang lewat kiri dan kanan (walaupun belum tentu benar, ya namanya juga hari pertama, belum familiar. Hihihi). Anaknya juga lucu. Bapaknya kerja, dia duduk manis di motor sambil makan sate baso goreng. Hahaha. Kami akhirnya berhasil menemukan hostel kami. Pas turun, kami kasih tambahan uang ke supirnya dan kasi satu pak kudapan agar-agar ke anaknya, eh dia jawab, “Mam, this is too much, Mam..” Yampun, baik banget!! Pas kami jawab, “Take it, it’s for you. Thank you so much..“, dia jawab sambil nunduk-nunduk, “Oh, thank you, Mam. Thank you..” Dan kemudian dia menunggu kami sampai kami masuk ke dalam hostel lalu dia dan anaknya berlalu sambil melambaikan tangan. OMG , sampai merinding ini menceritakannya lagi. :’)
One thing for sure, one area is not filled with bad people only. On that first day, I met two bad people in Manila, but then one good person has erased the bad experience away. And that one good person is a tricycle driver with an amazing gratitude towards everything he has received. I forgot to ask his name (or his daughter’s), but I know Lord can save my pray for him and his family. Bless’em Lord for he know how to be grateful. 🙂
Senyum dulu ah.. 🙂