Kemarin linimasa Twitter ramai dengan perbincangan tentang perayaan Waisak di Borobudur. Well, riweuhnya perayaan Waisak sebenarnya sudah dimulai dari tahun lalu. Tapi Puji Tuhan tahun lalu belum begitu banyak orang yang datang dan ngegeratak, jadi masih terkontrol. Tapi soal fotografer yang motret SUPER DUPER close up sih udah ada. Lalu yang motret bhikkhu berdoa dalam jarak dekat dengan memakai FLASH juga udah ada. Tahun lalu aja udah ga habis pikir sama urang-urang ini, eh tahun ini lebih-lebih lagi donk. :))
Dari mulai banyak EO perjalanan yang buka Waisak Trip dalam programnya, saya udah malas banget untuk ikutan, somehow, saya ngerasa ini akan jadi komoditas dan dikomersilin banget, dan sayangnya, banyak pejalan/pengunjung yang tidak terlalu mengerti atau paham (atau mau mengerti dan paham) bahwa ini adalah acara keagamaan, bukan sepenuhnya acara wisata. Juga, EO nggak berusaha menjelaskan atau menyadarkan pejalan yang dibawanya bahwa ini acara keagamaan, jadi lucu aja sih kalau sampai ada yang tahunya ini acara Festival Lampion dan bukan acara perayaan Waisak. :)))
Saya cuma bingung aja, itu para so-called fotografer yang pakai kamera DSLR cenggi2 itu kan harusnya tahu, memotret itu tidak harus dari jarak super dekat. Emang mau ngapain?? Mau bikin beauty photo? Mau foto super close up kan bisa kan pakai zoom, ukuran foto diset superfine, dan fotografernya teh ya motret dari agak jauh aja. Atau tanggung kan uda pake DSLR, sekalian atuh beli tele. Foto bhikkhu dari Jakarta aja deh, dapet!! :p Ini kok ya sampe ada yang 20cm di depan muka. Ga tahu sopan santun.
Saya cuma ngebayangin aja, kalau umat Islam sedang bersujud saat solat, lalu ada orang melewati tengah-tengah shaf dan cekrek-cekrek motret di depan muka, how would you feel? Atau kalau lagi misa, lagi syahdu dengar khutbah romo, eh ujug-ujug ada orang lewat, naik ke altar trus motret romo cekrak cekrek, how would you feel? Terganggu kan? Perasaan yang sama juga dimiliki bhikkhu yang sedang berdoa dan dipotret dalam jarak dekat. Terganggu.
Kalau di Islam mungkin akan langsung banyak orang emosi maju dan narik fotografer yang dianggap kurang ajar itu, atau di gereja, banyak umat yang juga bisa negur keras orang yang seenaknya motret-motret, nah dalam acara Waisak kemarin, siapa yang mau negur? Jumlah bhikkhu dan jumlah panitia tentu nggak sebanding, mereka bersembahyang di beberapa titik yang berbeda di seantero Borobudur, nggak mungkin masing-masing diikuti satu orang penjaga, maka kesadaran diri masing-masing pengunjung diperlukan di sini. Kesadaran diri dan rasa hormat yang tinggi.
Saya kemarin sempat kesal dengan teman saya yang memajang foto anaknya yang sedang menaiki stupa di museum. Kesal dan ga habis pikir, kok bisa bangga majang itu foto di media sosial? Di mana-mana, menaiki stupa itu dilarang, apalagi di museum, apalagi di tempat situs yang sedang menjadi tempat ibadah. Sama halnya dengan di Borobudur. Miris mendengar beberapa orang menaiki stupa seenak udelnya dan cekikikan melihat pose-pose stupa. Penghargaannya dimana?
Not only that, di foto yang banyak bertebaran di media sosial, pengunjung/pejalan yang memotret bhikkhu dengan menginjak stupa memakai apa? CELANA PENDEK saja. Huwaw. Meuni kece mbaknya. Itu acara keagamaan dan mbaknya pakai celana pendek ala-ala Tomb Raider. Huwaw! Berasa di Angkor Wat! 😀
Yang heitsnya, saya dengar dari teman yang seorang Buddhis, ada yang minta pengembalian uang lampion karena lampion tidak jadi diterbangkan (karena hujan). Ini, kalau kata Ale, beyond idiocy. Datang itu mau ikut serta dalam hening syahdu Waisak atau mau nerbangin lampion? Mau nerbangin lampion mah di rumah aja atuh sendiri. Mau rame? Ya ajak tetangga dan teman. Ini udah ga jadi diterbangin karena force majeure, uang pembelian lampion itu sendiri untuk dana sumbangan, eh diminta lagi aja donk pas lampion ga jadi diterbangin. What the ih?!
Ada yang bilang hal kayak gini nggak bisa dihindari kalau acara keagamaan jadi wisata, yeah, emang ga bisa dihindari sepenuhnya maybe. Tapi pasti bisa dikurangi kegratakkannya kan. Masing-masing tahu diri yuk. Sama-sama menyadari dan menghormati.
Bagaimana pun juga, menjadi seorang pejalan seharusnya tidak hanya memperkaya kita secara fisik, tetapi lebih dari itu, pejalan yang berani membuka mata dan hati, pasti dapat sentuhan holistik yang lebih dari sekedar foto-foto cantik. 🙂
Senyum dulu ah.. 🙂
halo Indira. masih keinget Waisak itu .. dan saya nyangkut di tulisanmu ini. Miris memang.
saya malah lanjutkan mau bikin tulisan soal blogger dan etika yang bisa dipakai di banyak teknik, ..
Nah, aku nyari2 akun2 Twitter dan Blog potograper2 yang lancang itu, terutama yang mbak2 celana pendek nginjak stupa (pernah lihat kan fotonya?)
Kalau ada info, tolong sodor ke saya yaaa .. 😀
bisa ke afseeboy@gmail.com, @FandiSido atau blog bukufandy.blogspot.com.
Tingkyu, Indira. God bless.
*gemas