“Susah nggak sih Lan, jalan ke Korea (Selatan)? Komunikasi susah? Orang-orangnya bisa bahasa Inggris?”
Saat saya belum bisa berbahasa Korea, saya orang yang selalu berpikir saya bisa ke mana saja dan mudah mendapatkan informasi di luar negeri karena memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang lumayan. Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa ternyata kemampuan bahasa Inggris saya ini tidak banyak membantu ketika kaki menapak tanah Korea Selatan untuk pertama kalinya di kota … Busan.
Busan adalah kota metropolitan kedua di Korea Selatan. Kota ini menjadi tuan rumah Asian Games 2002, APEC 2005, serta salah satu tuan rumah FIFA World Cup 2002. Dengan segala predikat ‘tuan rumah’ tersebut, tentunya, pikir saya, bahasa Inggris adalah bahasa yang cukup sering digunakan di Busan dong ya. Maka sudah pasti tidak akan terjadi gegar budaya dalam bentuk hambatan komunikasi karena bahasa yakaaaaan..
Tadaaa…
Saya salah.
Wkwkwk.
Walaupun Busan sudah besar, maju, dan menjadi kota urban tapi hambatan berkomunikasi karena bahasa justru saya rasakan di sana. Sulit sekali berkomunikasi dengan bahasa Inggris di Busan. Hampir semua tulisan di toko-toko yang ada di Busan hanya memakai Hangeul tanpa ada sedikit pun terjemahan ke bahasa Inggris. Saya? Baca Hangeul saja nggak bisa (pada waktu itu). Kumaha atuhlah Markonah langsung puyeng! Wkwkwk.
Hambatan berkomunikasi ini termasuk ke restorannya juga. Bahkan untuk menu, sedikit sekali restoran yang menerjemahkan atau menjelaskan menunya dalam bahasa Inggris. Pas pula perginya sama Mama yang ada pantangan nggak makan ini itu, jadi puyeng gak? YA PUYENG LAH HAHAHA.
Hari pertama di Busan, hambatan bahasa ini membuat energi saya terkuras habis. Bertanya tentang arah jalan, tidak ada yang mengerti. Bertanya tentang makanan yang mau kami makan, tidak ada yang mengerti. Nggak pacar, nggak lelaki yang PDKT, nggak orang Busan, SEMUA NGGAK ADA YANG MENGERTI!!
Markonah lelah..
Pada akhirnya saya malas bertanya pada orang lain dan memilih untuk mencari solusi sendiri untuk semua hal yang saya butuhkan dalam perjalanan.
Tapi apa hambatan komunikasi ini mencegah saya dan Mama untuk menjelajah Busan? Oh tentu tidak! Busan terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja! Berbekal peta yang saya minta di bandara dan sisa energi serta ucapan, “Sudah ya Ma, gak usah nanya orang lagi. Percaya sama aku, kita jalan sendiri aja!”, kami jalan mandiri. Dan karena jalan-jalan asal ini, saya jadi tahu ternyata ada beberapa area di Busan yang orang-orangnya cukup mengerti bahasa Inggris. Nggak semuanya kabur saat saya mengatakan, “Excuse me..” gitu.
Iya, saking nggak bisa bahasa Inggris, mereka kabur melengos saja dong saat saya baru mengucap, “Excuse me..” Hiks. Sedih ya. Nggak pernah aqutu dipelengosin orang-orang sebanyak di Busan, Rencang-rencang.. Wkwkwk.
Kasir di Restoran Cepat Saji Lotteria dan McDonald bisa berbahasa Inggris. Walaupun minim tapi cukup untuk bisa berkomunikasi, “Ayam dua, tepong!” gitu. Karyawan Paris Baguette Bakery, walaupun nama tokonya ada Paris-nya tapi kasir dan pelayannya sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris! Unbelievable! Wkwkwk.
Di Jagalchi Fish Market, tidak banyak (kalau tidak mau dikatakan ‘tidak ada’) yang bisa berbahasa Inggris. Menu pun tidak ada dalam bahasa Inggris. Padahal ini pasar ikan yang terhitung besar loh! *But then, ya loe kira ada banyak yang bisa bahasa Inggris di Pasar Ikan Muara Baru, Lan?!*
Untuk restoran di area pantai dan area wisata seperti Haeundae Beach dan Gwangali Beach (Gwangan), ada yang bisa berbahasa Inggris walaupun tidak lancar tapi cukup untuk berkomunikasi. Itu aja sih yang penting, bahasa Inggris lancar tapi nggak bisa berkomunikasi baik juga untuk apa yekan? *nengok ke mantan* EH.
Ada satu kejadian lucu berkaitan dengan komunikasi. Terjadi di Beomeosa. Di area ini, jarang sekali ada yang bisa berbahasa Inggris, tapi orang-orang di area ini sangat ramah dan hangat ke wisatawan dan niat sekali membantu walaupun jadinya pakai bahasa Tarzan. Hihihi.
Pulang dari Beomeosa Temple, saya dan Mama ingin cari makan. Kami pun masuk ke salah satu restoran yang terlihat cukup penuh. Saat melihat kami datang, Ibu di restoran tersebut langsung menambahkan ucapan ‘Welcome’ setelah mengucap Anyeonghaseyo. Oh, tanda baik, seenggaknya Ibu ini ada niat untuk berbicara Bahasa Inggris pada kami – pikir saya.
Dengan bahasa Korea, Ibu pemilik restoran ini semangat menjelaskan semua menu sambil menunjuk gambar-gambar yang ada di dinding. Oh berarti begitu cara pesannya, tunjuk saja gambarnya, simpul saya. Hihihi. Lalu saat kami sudah yakin mau memesan apa, saya memberikan angka 1 dengan jari dan menunjuk salah satu gambar, kemudian memberikan angka 1 lagi dan menunjuk gambar lainnya sambil berbicara dalam bahasa Inggris. Sepertinya Ibu itu mengerti. Hehehe. Tapi kemudian ada satu pasal lagi; seperti yang saya tuliskan di atas, Mama punya pantangan. Mama tidak makan daging babi. Hmmm, bagaimana menanyakannya ya? Hmm..
Saya: Is it pork?
Ibu Resto: … (bingung)
Saya: Pig?
Ibu Resto: Pikiiii?? (dengan tatapan makin bingung)
Waduh Ibunya teu pahaaaaam… *krai*
Akhirnya dengan sedikit malu, saya mengangkat bagian depan hidung saya biar jadi hidung babi lalu mengucap “Oink.. oink..?”
Ibu itu mengucap “Aaaaah…” panjang tanda (sepertinya) mengerti kemudian beliau menundukkan kepalanya seperti ingin berbisik.
Saya dan Mama jadi mendekatlan wajah kami ke wajahnya. Setelah dekat, dari bibir Ibu itu terdengarlah suara..
“Moooo…”
Buahahahahahaha!!
Jadi itu daging sapi, Rencang-rencang!! Hihihi. Begitulah cara komunikasi yang efektif. Paham kan kamu, Mas?! Ibu itu saja bisa berkomunikasi dengan baik walaupun nggak bisa bahasa Inggris, dia usaha gitu loh!! U SA HA!! Nggak kayak kamu yang pasif saja nggak mau usaha!! *eh ini Bulan kenapa sih marah-marah?!*
Di Busan, kami tidak hanya menggunakan subway tapi juga harus menggunakan bus. Nah supir bus di Busan tuh SAMA SEKALI tidak menguasai Bahasa Inggris. Bertanya ke supir bus dalam bahasa Inggris adalah kesia-siaan belaka, maka saya mending nggak nanya. Hihihi.
Saat saya dan Mama mau ke Dongnaeeupsong Fortress, di peta, benteng ini disandingkan dengan Bukcheon Museum. Menuju ke sana adalah dengan naik subway sampai Dongnae Station lalu keluar di pintu 4 dan lanjut bus no 6 atau 6-1 tapi saat kami keluar di pintu 4, baik bus no 6 ataupun 6-1 tidak ada di dalam daftar. Hmmm…
Ada bus No 5 sedang berhenti tapi seperti yang saya tuliskan di atas, bertanya pada supir bus dalam bahasa Inggris adalah kesia-siaan yekan. Hihihi. Setelah jalan kesana kemari tak tentu arah dan bertanya pada dua orang yang (juga) tidak mengerti apa yang saya katakan (hiks), saya memberanikan diri menunjuk nama tempat yang ingin kami datangi ke seorang perempuan dengan rambut ala Dora. Dia lalu mengulang nama itu dan memberikan tanda dengan tangan supaya kami mengikutinya. Kami jalan jauh sekali tanpa tahu mau dibawa ke mana hubungan kita bila kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta.
Saya berusaha bertanya lagi dengan bahasa Inggris yang saya lambatkan. Omongan saya dijawab perempuan itu dengan “네..네..” yang terdengar seperti ‘Dae.. Dae..’ (cieeee sekarang sudah bisa nulis Hangeul, sombong!) kemudian ia lanjut jalan lagi. Saya dan Mama bisa apa selain mengikuti saja. Hihihi. Mau cancel juga nggak enak yekan, sudah ditemani jauh-jauh.
Hamdallah saat itu saya nggak kepikir Mbaknya ini akan berlaku buruk ke saya dan Mama. Antara positive thinking sama pasrah memang kami anaknya. Wkwk.
Setelah jalan lumayan jauh, kami tiba di satu sudut dan dia berkata dengan terbata-bata dan cadel, “Here. Six only. Here.”
Ya ampun, kami benar diantar ke halte busnya lho! Dan halte bus ini jauh dari titik awal kami jalan. Itu berarti perempuan dengan rambut Dora itu harus jalan kembali ke titik awal tadi setelah mengantar kami! Terharu gak sih. Huhuhu. Semoga mbaknya diberikan kesehatan dan jodoh yang baik serta pengertian. Amin..
Sekelumit cerita pertama kali menginjakkan kaki di negeri ginseng ini akan selalu saya ingat deh. Walaupun di hari pertama saya kehabisan energi mencoba berkomunikasi di Busan, tapi di hari-hari selanjutnya, saya dan Mama dipertemukan dengan banyak sekali orang baik yang membuat saya berkesimpulan, bahasa itu ya memang cuma sarana ya. Nggak peduli bahasa yang berbeda, tapi jika ada usaha untuk berkomunikasi, dengan cara apapun, komunikasi ya akan terjalin.
GITU YA MAS! *tetep*
Komunikasi memang terhambat sekali di Busan, tapi walaupun dengan hambatan bahasa untuk berkomunikasi, kami tetap bisa menikmati kota ini. Malah jadi ada ceritanya ya nggak sih. Seenggaknya sampai saat ini, hanya di Busan lah saya bisa memeragakan hidung babi ke seorang Ibu sambil mengucap ‘Oink.. Oink..’ gitu. Hihihi.
Senyum dulu ah.. 🙂
Tolong ya, pas lagi komunikasi di sana itu direkam. Mayan toh, kami bisa ikutan ketawa pas liat 🙁
Sungguh teganya dirimu teganya teganya teganya oooooo ~