Menua, Hidup, dan Berbahagia

“Aku pernah sih ditegur sama Ibu-ibu. Pasalnya pakai baju kaos Doraemon dibilang, ‘Inget umur..’ 🙁 Tante-tante rempong.” – Deddy Huang, 2018.

“Memang nggak kasihan Mamanya ditinggal sendiri sementara kamu tinggal di sini?” – seorang Ibu-ibu kepada saya lengkap dengan tatapan menghakimi ‘kamu anak durhaka’, 2016.

“Nunggu apa siiiih? Sudah cepat. Jangan kelamaan. Ingat umur.” – teman kenalan Ibu seseorang di acara kawinan yang saya datangi, 2018.


Ahahaha.. Orang tu ada-ada saja ya. Memang kenapa kalau berusia tiga puluh satu tahun dan senang pakai kaos Doraemon?

Atau tiga puluh dua tahun dan senang tinggal sendiri, tidak sama orangtua?

Atau (mungkin) akhir dua puluhan dan belum ada keinginan untuk menikah karena masih asyik berkegiatan sendiri? – nggak tahu persis usia Mbak yang diomongin Tante di acara kawinan itu. Saya cuma selewatan jalan dan mendengar lalu ya lanjut ke pojokan makan lasagna.

***

Menua itu proses yang tidak dapat dihindari. Bahasa Sundanya: Inevitable; gitu.

Saya berbahagia dengan proses menua saya. Dan saya tetap hidup dalam proses ini.

Aging doesn’t stop you me.

tulisan-tentang-menua

Banyak yang beranggapan manusia akan berhenti hidup pada suatu ketika; bahkan ketika masih bernyawa. Semangat hidupnya hilang, hidup hanya bernapas dan menyambung hari saja. Ada yang beranggapan ini karena tekanan hidup, orang terperangkap dalam rutinitas, atau juga karena usia.

“Sudah waktunya hidup itu begini-begini saja.”, kata seseorang.

Saya terperangah. Takut dia tetiba memutuskan bunuh diri setelah berkata demikian. Astagfirullah. Kenapa terdengar depresi begitu dah. -____-/

Bagi saya, orang berhenti hidup ketika ia sudah tidak lagi punya keinginan untuk bahagia, ketika ia mengesampingkan apa yang bisa membuatnya senang, ketika ia membatasi dirinya sendiri dan terus berada di zona nyaman, dan ketika ia sudah tak mau lagi belajar. Padahal, belajar adalah proses yang berjalan terus-terusan, tidak akan habis materinya. Paham tentang B, belum tentu tentang O. Tahu tentang L, belum tentu tentang U. *sadar nggak itu inisialnya kalau disambung jadi BOLU.. Aduh lapar..*

workshop-cupcake-fortyfoureatery-jogja

Ketika seseorang berhenti belajar, ia memberhentikan proses memperkaya dirinya. I personally think, when you stop learning, you stop living.

Saya tidak menyangka kehidupan perempuan tiga puluh tahunan saya akan semenyenangkan dan sehidup sekarang. Bahkan, terasa lebih hidup dibanding kehidupan saya di usia dua puluhan.

Mungkin juga karena pas usia 20an saya terikat dalam hubungan yang represif. Wkwk.

Bagaimana kehidupan tiga puluh tahunan ini tidak lebih hidup? Saya bisa tinggal berpindah sesuai panggilan dan keinginan hati. Kapan waktu di Bali, lalu di India, lanjut di Yogya hingga kini. Sampai ke tingkat Mama menjawab, “Sekarang Bulan di Jogja. Sekarang. Nanti nggak tahu.” saat temannya menanyakan keberadaan saya itu menurut saya lucu. Lucu dan patut saya syukuri. Nggak semua orang bisa melakukan ini, entah untuk alasan kemapanan, kebutuhan, atau ketakutan.

Hamdallah, saya bisa.

Banyak yang bertanya kenapa saya mau pindah dari Jakarta padahal banyak orang menggantungkan mimpi dan hidupnya di sana? Kenapa saya mau melepaskan gaji puluhan juta dan kehidupan nyaman di ibukota untuk gaji satu digit di Jogja?

Karena..
Ternyata..
Kebahagiaan saya lebih dari sekadar memiliki cukup uang.

AHZEK!!
Gaya bat, Bulan!!
*nyanyi OST Keluarga Cemara sambil geletakan di hammock*

hammock-di-limasan-514

Etapi benar lho, Geng. Sempat bertahun-tahun saya merasakan ironi tabungan ada, kesehatan ada, eh waktunya nggak ada untuk melakukan hal-hal yang membuat saya senang. Atau tabungan ada, kesehatan ada, waktu ada, eh keadaan jalan tak memungkinkan untuk melakukan hal-hal yang membahagiakan. Dari mulai traveling, yoga, menari, sepedaan, itu jarang sekali (nggak pernah malah untuk menari dan sepedaan) saya lakukan saat tinggal di Jakarta.

Hal kecil.
Tapi itu membuat hidup saya terasa lebih bermakna.

Pada suatu masa di Jakarta, saya masuk mobil setelah lari di Senayan dan menertawakan (keadaan) diri sendiri. Membatin, “Orang Jakarta satu ini ni ngapain ya. Nyetir satu jam ke Senayan untuk berolahraga. Pergi pulang dua jam, kena macet, plus bayar parkir belasan ribu rupiah! Lah waktu di jalannya lebih lama dibanding waktu olahraganya.” Wkwkwk. Pernah coba lari di sekitaran apartemen, nggak ke Senayan. Duile, selain mesti sabar menahan emosi menghadapi godaan mamang-mamang tak penting sepanjang jalan, ada juga godaan penting yang tak bisa saya tahan berupa mie ayam di pengkolan.

Aduh.

Berat, Jenderal!

Badannya maksudnya yang berat. 😀

lari-5k-bri-run-2018

Hidup saya di Jakarta sedikit lebih berbahagia adalah ketika AKHIRNYA saya menjual mobil dan ke mana-mana naik ojek. Hihihi. Stress jauh berkurang, tapi tetap, tidak bisa melakukan banyak hal yang membuat saya senang. Saya merasa kehidupan saya butek banget di Jakarta; saking buteknya, ketika saya memutuskan keluar Jakarta, saya bilang ke Mama, “Pokoknya aku akan keluar Jakarta. Entah ke mana, pokoknya keluar Jakarta!!”

Gila gak tu ‘Pokoknya keluar Jakarta!’. Wkwkwk.

Bulan-bulan pertama saya pindah ke Jogja, semua orang mengira saya tidak akan betah. Orang mengira saya pindah karena dorongan emosi. Saya nggak ada target membuktikan anggapan orang itu salah atau benar. Target saya hanya satu: mencari kebahagiaan. Prioritas saya hanya satu: diri saya sendiri.

“Nggak apa-apa jadi egois kadang-kadang. Kedepanin (dahulukan) apa yang bisa bikin lu happy. Gw bilang happy maksudnya bukan sekadar happy ya; tapi apa yang bisa bikin lu content.”, Jovita Sadikin, 2015 – mantan boss saya.

Dulu, saya punya kecenderungan selalu ingin membahagiakan orang lain. Saya pikir kalau saya membahagiakan orang lain, saya juga akan merasa bahagia.

Tapi ternyata tidak, Esperanza.

Kebahagiaan saya dan kebahagiaan orang lain adalah dua variabel yang berbeda. Keduanya mungkin bersisian, tapi bisa juga berlawanan.

Saya bertanggungjawab untuk kebahagiaan saya sendiri. Begitupun orang lain akan kebahagiaannya.

“Hanya orang yang bahagia bisa membuat orang lain bahagia. Bahagiakan dulu dirimu, lalu tularkan kebahagiaan itu ke sekelilingmu.”, Romo Kosmas, 2010 (kayaknya).

Dari situ saya belajar menaruh diri saya jadi prioritas. Kebahagiaan saya adalah yang utama. Selama tidak mengganggu hajat hidup orang lain, saya akan kejar dan lakukan apa-apa yang membuat saya bahagia. Hehehe. Bahasa Bekasinya, “Ain’t gon be people stopping me no I won’t let’em.” CAELAH. *renang gaya punggung di Kalimalang*

Di usia saya ke-tiga puluh tiga, saya beranikan diri mendaftar kelas tari. Saya mau melakukan semua hal yang saya sukai dan saya percayai membuat saya bahagia sebelum saya mati. Menari, salah satunya.

Salah duanya: Tinggal di luar negeri, naik pesawat dengan tempat duduk yang bisa dibuat jadi tempat tidur untuk penerbangan long-haul, dan punya emas batangan minimal 100 gram. But more on those later. 😀

ronggeng-jaipong-mila-art-dance-school-jogja

Di usia tiga puluh dua kemarin, saya botakkin kepala. Ini selain karena alasan rambut saya rusak setelah dicat dan dikeriting, juga karena punya rambut plontos tu impian saya dari SMA. Hihihi.

Wondering saja seperti apa tampilan saya berambut plontos. Dan saya nggak mau kehilangan kesempatan melakukan hal yang saya inginkan sampai saya tutup usia.

Menyesal nggak botakkin kepala?
Tentu tidak.

Sama seperti pindah ke Jogja, ikut les tari, belajar masak, mulai ikut lari 5K, ambil les bahasa Korea, dan pergi solo traveling; I’ve done something I really want to do. And that makes me happy.

“Wah hebat! Tapi, enjoy nggak?” – Anggaditya Adhyaksa, saat saya cerita saya habis ikut marathon 5K (dia pelari full marathon 42K).

Hasil itu kemudian, menikmati proses itu yang utama.

Sekarang, saya menikmati sekali kehidupan saya di Jogja. Menikmati waktu yang terasa berjalan lebih lambat. Menikmati jalan santai tanpa disuit-suitin. Menikmati angin yang menerbangkan rambut icikiwir saya ketika saya bersepeda (plus, menikmati jalur khusus sepeda di banyak jalan raya). Menikmati memanggil semua tukang parkir dengan sebutan pakde. Menikmati melakukan kegiatan yang dulu selalu ingin saya lakukan tapi berhenti sebatas mimpi. Menikmati suara medhok yang menyapa gendang telinga. Menikmati becanda akrab dengan orang-orang yang baru saya kenal. Menikmati romansa kota nostalgia.

bersepeda di jogja

“Siap ya, keluar dan nikmati narinya. Nikmati musiknya. Senyum. Semua pasti bisa. Nggak usah peduli benar salah. Nggak usah mikirin tekniknya. Kelasnya sudah lewat. Nikmati saja tampilnya. Kalau enjoy, orang bisa lihat. Narinya bagus. Enjoy ya. Enjoy.” – Kak Mima, guru tari Jaipong saya saat briefing sebelum kami tampil.

We danced well that night. Enam ronggeng yang baru kenal selama tiga bulan bisa menyatukan rasa, gerak, dan emosi bersama di atas panggung. We enjoyed the journey. Dari kelas pertama ke kelas terakhir, dari belajar teknik awal hingga menemukan gaya masing-masing, dari merasa tidak bisa menjadi bisa.

Turns out, getting out of my comfort zone is not that scary.

Turns out, getting myself in to a new environment is not that awkward.

Turns out, doing everything that I love doesn’t have any age restriction.

Turns out, doing everything that makes me happy really do make me happy.

Turns out, life is too meaningful to be felt biasa-biasa saja.

Have you truly lived your life so far?
 

Senyum dulu ah.. 🙂


BACA JUGA:

  1. Hadiah Natal Terbaik..
  2. Be Proud!!
  3. Pengalaman Es Krim..

Related Posts

41 Responses
  1. apalagi lihat tiap kamu insta story mulai dari make up, ngomel2, dll.. itu menandakan kamu bahagia. benar emang yang jalanin hidup kamu, orang lain hanya penonton selain itu bersyukur lingkungan keluargamu mendukung hal tersebut.

  2. Kzl batsss bagian BOLU! Mana sempet mamerin potonya pulak! Huffff
    Kemudian jleb bagian ini “Saya pikir kalau saya membahagiakan orang lain, saya juga akan merasa bahagia.
    Tapi ternyata tidak, Esperanza.”
    Bhaiqlaaaa, semangat berbahagia kabuuul, diem2 aku ngepeeens soal prinsip bahagiamu, tp ga mo bilang, ntar km keGRan. ???

  3. Aku mbrambang masa baca tulisan ini. Campuran antara seneng banget kamu menikmati kehidupan di Jogja (saat ini), trus kangen kamu di sini, sama tertampar pelan karena beberapa waktu belakangan aku sungguh tak menikmati hidup ku.
    Nanti cerita2 offline yang lama yaaa pas ketemuuu..

  4. Gallant Tsany Abdillah

    Nah kalau aku justru kebalikan Kak Bulan nih, aku malah tertantang untuk ke Jakarta (ya nggak spesifik harus jakarta maksudnya) sih. Menantang diri sendiri karena di Yogyakarta terlalu nyaman. Istilahnya kalau kak Bulan itu seorang yang sudah melalang buana dan mencoba menerapkan segala pengalamannya di Jogja, kalau aku kebalikan, segala ilmu yang aku dapat di Jogja ini harus dibongkar habis-habisan biar jadi diri yang baru. Dapat pengalaman mumpung usia masih 20 tahun, masih muda lah aku nih. Semoga memang ada rejeki buat mencari rejeki di kota lain.
    Ya mungkin nanti ada yang baca komen ini terus bilang “halah kamu di Jogja aja ngeluh mulu, gimana di Jakarta”
    Cuma ya emang sih, Jogja adalah senyaman-nyamannya tempat untuk kembali kalo menuruku. #halah

    1. Hahahaha. Piye tho kamu di awal dan tengah berapi-api mau keluar dari Jogja, di akhirnya tetep mellow. Hihi.
      Sebenarnya bukan masalah kotanya sih. Ini jadi pembahasan sama temanku kemarin. Ini soal comfort zone dan keluar dari zona itu saja. No matter where the place is.
      Orang yang lahir besar di Jogja tentu tertantang untuk pindah dan tinggal ke luar Jogja. Orang yang lahir dan besar di Jakarta, kemungkinan besar tertantang untuk keluar dan tinggal di luar Jakarta.

  5. tulisannya kerasa banget ditulis pake hati.
    aku sih sekarang lagi mengurangi apapun yang bisa mengurangi kadar bahagia, yg berpotensi merusak mood, yg bikin stress pikiran. Mulai semakin mensyukuri setiap hal hal kecil yang baik. dengan begitu hidup berasa lebih enteng dan bahagia.
    sampai2 sering dikira aku ni manusia tidak punya masalah. hahahaha
    kata Payung Teduh “mengapa takut pada lara, sementara semua rasa bisa kita cipta”
    *gilaaaa nak indie banget aku

    1. Duh itu kalimat pertamanya bikin aku bahagia sekali bacanya.
      Betul betul, pandai bersyukur itu kunci bahagia juga. Semuanya jadi terasa mudah kalau orang pintar bersyukur.

  6. Wkwk setelah hidup di lingkaran blogger, aku mulai terbukakan hati dan pikiran. setelah ketemu blogger2 ternyata justru usian 20 dst justru banyak hal asik yang bisa dilakukan, akhirnya skrg aku belom siap untuk jenjang gt2. Masi pengen banyak belajar, nyoba beberapa sekolah profesi hukum wkwkwk lebih-lebih lihat kak bulan ikut kelas baking dong, aku jadi pengen ikutan juga
    Ah pokok kalo lihat storynya mba bulan selalu suka. Bahagia terus mbaaa wkwkw
    oiya masalah kaos doraemon, aku pun juga digitukan mengingat hamba penggemar garis keras minion. ( oiya kaos kaki ku jangan dijual ya blm sempat ku ambil haha)
    – Lidia

    1. Kaos kaki masih di siniiii. Siap menunggumu mengambilnya. Hahaha. 20an itu masa-masa bikin salah sebenarnya, cuma di masa itu aku malah sudah menikah dan tertekan jadi sekarang ketawa aja kalau di usia segini masih suka bikin salah. Telat gitu akuh. Wkwkwk.

    1. Itu yang aneh dari aku, aku merasa meninggalkan Jakarta itu keputusan termudah yang pernah aku buat. Hihihi. Segitu yakinnya mau keluar Jakarta, no matter where will I go afterwards. ?

  7. Abim On mainbentar.com

    Sempet sih kepikiran di part ‘ saya pikir kalau membahagiakan orang lain, saya juga merasa bahagia’ njir ternyata itu Salah, emang paling bener fokus ke kebahagiaan diri sendiri dlu kok, baru Kita bisa bahagiain orang lain. Thank you for sharing, Mbak

  8. Benar ya, kadang juga ada yang mikir kalau sudah emak2 kayak daku ya sudah urusin anak saja, ngga mikirin kesenangan sendiri, lho walau emak kan tetap manusia yang punya rasa punya hati #lho love ur article..

  9. hai kak bulaaan sebagai yang sama-sama pindah ke Jogja dari kota asal aku ngerasain hal yang sama. Di sini aku lebih banyak membahagiakan diri sendiri, capek ngerjain tugas langsung tancap gas ngadem ke daerah atas Kaliurang, lalu sekarang sering banget ngopi-ngopi santai bahas topik apapun dari yang remeh sampai mikir otak banget yang notabene dulu jarang banget dilakukan pas masih di kota asal.

  10. Aiih dalem banget tulisannya Kabuuuuuuulll. Bahagia tiap orang levelnya beda, ada yang bisa makan sehari sekali aja udah bahagia, ada yang mobilnya berjejer, apartemennya segambreng tapi idupnya ngenes. Peduli setan kata orang hahahahaha.

  11. Annisa

    Hay mba.. tulisan ini “aku banget” tapi sedikit beda karna aku sampai hari ini belum bisa meyakinkan diriku sendiri untuk keluar dri “zona aman”..
    Boleh bagi tips ga apa yg pada akhirnya bikin mba berani untuk ambil keputusan pindah dri JKT kembali ke jogja dan resign dari kantor ?

    1. Halo.. Terima kasih sudah baca yaaaa..
      Aku bingung juga jawab pertanyaannya bagaimana karena walaupun aku melakukannya tapi aku meyakini tidak semua orang berani dan perlu keluar dari zona nyaman. Bertahan di zona itu pun tidak salah. Zona nyaman itu sangat subjektif. Kalau seseorang masih merasa nyaman di dalamnya, ya gpp juga, tidak perlu keluar.
      Sekarang aku tanya dulu, kenapa kamu kepikiran mau berani keluar dari zona nyaman kamu kah? Apakah zona itu sudah benar tidak nyaman?

  12. Intinya jangan menakar kebahagiaan diri dengan berkaca pada pencapaian orang lain tapi ngacalah di depan cermin sendiri. Gitu gak kak Bulan?
    Btw, itu ketoprak kuburannya enak kak? 😉

    1. Hahaha memang yaaaa kuncen. Dari sekian foto, yang dikomentarin ketoprak kuburannya dong. Hihi.
      Betul betul intinya betul. Temukan saja bahagianya masing-masing.

Leave a Reply