“Mbak, mau coba pakai kamera Fujifilm nggak?”, Mas Ardian, sang punggawa #NyetritBareng bertanya di suatu ketika.
Hmmm.. Godaan ber’pindah agama’ ini begitu besar ya.
Wkwk.
Tanggal 21 April kemarin pertama kalinya saya ikutan #ArisanIlmu yang diadakan Komunitas Emak Blogger. IYA, GAK SALAH BACA, SAYA IKUTAN ACARA EMAK-EMAK!! Hahaha. #ArisanIlmu ini adalah acara rutinnya KEB dan biasanya, terbuka untuk siapa saja, baik emak-emak yang tergabung di KEB, calon emak-emak yang akan masuk KEB, atau teman emak-emak yang tidak bergabung di KEB – seperti saya. Hihi.
Eh intermezzo sedikit, acara #ArisanIlmu kemarin ni adalah kali pertama saya ikutan acara yang menghargai peserta yang datang tepat waktu. Acara kumpul dijadwalkan 07.00 – 07.30 dan penyelenggara menyediakan 10 hadiah untuk 10 peserta yang pertama datang dong. Menyenangkan ga si. Sebagai yang seringnya datang awal, saya merasa AKHIRNYA ada penyelenggara yang menghargai. Acara pun dimulai sesuai dengan jadwal, walaupun ada peserta yang belum datang juga acara tetap jalan. Nice ya. Laff.
Tema #ArisanIlmu kemarin adalah Basic Photography dan acaranya sendiri kerjasama antara #ArisanIlmu dengan #NyetritBareng dan didukung oleh Gudang Digital sebagai tempat terbaik cari kamera dan asesorisnya di Jogja serta Fujifilm sebagai pilihan kamera terkini juga Smartfren penyedia koneksi ke dunia maya yang mumpuni.
Soal fotografi ya, saya kayaknya nggak akan lulus-lulus dari kelas ‘basic’ deh. Gimana mau lulus lha wong dijelasin beberapa kali tentang hal teknis sebuah kamera aja saya nggak paham-paham. Sad. Wkwk.
Untungnya, materi Basic Photography yang dikasih Mas Iwan dari Gudang Digital pas acara ini lumayan bikin lebih paham.
Kok bisa?
Karena setiap hal teknis yang dipaparkan (aperture, ISO, Shutter Speed, blablabla) dijelaskan dengan contoh foto, jadi lebih ‘ah, gituuuu..’ gitu pas lihat bedanya. << ngerti gak si maksud saya, Geng? Wkwk.
Setelah materi diberikan, peserta pun diajak photo hunting. Tapi sebelumnya, koper besar Gudang Digital dibuka dulu.
JRENG!
Puluhan kamera Fujifilm dikeluarkan dan diberikan ke peserta untuk kemudian sama-sama ‘dikoprek’ biar lebih paham pemakaiannya sebelum photo hunting dimulai.
Kesan pertama memegang Fujifilm XT100?
Adu adu.. Kamera mehong tu berat ya. Wkwk. Terasa banget ni lebih beratnya dibanding kamera saya sendiri – yang sama-sama mirrorless – tapi nggak semahal Fujifilm XT100 ini. Eaaaaa..
Ada tiga warna yang dimiliki kamera ini: Black, Dark Silver, dan Champagne Gold. Pas Mas Ardian datang membawa dua kamera, saya langsung comot yang Champagne Gold. Warnanya, menurut saya, sexy.
Desain luarnya menurut saya Fuji banget. Bagian atasnya berbahan metal dan berwarna (tiga warna yang saya sebutkan tadi mengacu ke warna di bagian atas kamera ini), dua per tiga bagian badan kamera ditutupi bahan yang serupa kulit berwarna hitam.
Yang saya nggak begitu suka dari desain luar tu hand gripnya. Bagian hand grip ini menurut saya kurang mantap dipegang meskipun detachable grip sudah dipasang. Tipis banget detachable gripnya anjay, kalau selip, lolos aja tu kamera. Mana kamera yang dipinjamkan nggak ada tali/wristbandnya lagi. GLEG.. *peluk sayang biar nggak jatuh*
Ketika saya nyalakan, mata saya berbinar. MEMANG YAAAAA display (screen)nya kamera Fuji tu menyenangkan mata. Hasil foto kelihatan jernih sekali bahkan di layar. Layarnya bisa dibuka ke samping, jadi untuk yang mau selfie, vlogging, atau bikin video beauty, bisa banget dong. Dan untuk yang mau groupfie, jangan sedih, face detectionnya bisa sampai 10 wajah, jadi nggak akan kejadian wajah yang di depan saja yang fokus tajam tapi yang lainnya blur. Sungguh kasihan. Wkwk.
Layar Fujifilm XT100 juga touchscreen. Layar sentuh ini bisa untuk pengaturan autofocus, zoom 2x, dan putar ulang (playback drag/pinch). Fungsi autofocus via layar sentuh ini berguna banget, Geng. Dulu, saya pikir layar sentuh di kamera itu nggak penting-penting amat, etapi ternyata setelah saya mencoba kamera yang ada dan tiada fitur layar sentuhnya, ya memang yaaaaa, layar sentuh itu memudahkan sekali.
New goal: Kalau ganti kamera nanti mau yang layar sentuh! Untuk autofocus doang juga gapapa, Bulan anaknya mudah dibahagiakan.
Saat acara #ArisanIlmu X #NyetritBareng kemarin, saya juga baru tahu ada mode SR+ di kamera Fujifilm. Untuk Fujifilm XT100, mode SR+ ini selain punya scene recognition dan face detection (AHA!) juga ditambah fitur baru yaitu Main Subject Recognition. Jadi si kamera ini bisa deteksi subjek utama di layar dan menjaga fokus tetap ke subjek itu bahkan ketika subjek/kamera bergerak. Kece bat ya..
Fitur lainnya yang non-teknis dan saya suka (karena tahu apa lah saya soal teknis kamera yekan) adalah film simulationnya. Ada beberapa pilihan film simulation di kamera Fujifilm (kayaknya ini tersedia di semua kamera Fujifilm), dan film simulation yang paling saya suka: Astia.
Astia ini bikin warna jadi soft dan dreamy gitu. Manis lembut kalem sesuai banget sama personality saya ya. Yha..
Iyakan saja.
Photo hunting dilaksanakan di sekitaran Kotagede. Tempat pertama yang kami datangi: Masjid Besar Mataram Kotagede.
Sudah beberapa kali saya ke Masjid Besar Mataram Kotagede ini, tapi hari itu pemandangannya spesial. Bapak-bapak berbaju beskap dan berkain batik duduk berhadapan di pendopo masjid. Eh ada acara apa ya?
Ternyata ada Nyadran, Pemirsa!
Sadranan atau Nyadran adalah tradisi pembersihan makam dalam masyarakat Jawa. Tradisi ini biasa dijalankan sebelum memasuki bulan Ramadan.
Ketika saya sampai di Masjid Besar Mataram Kotagede, Nyadran sudah akan dimulai. Ritualnya dimulai dengan para Abdi Dalem Lelaki duduk berhadapan di pendopo masjid. Di tengah mereka, ada ubo rampe. Bapak-bapak ini kemudian berdoa dan setelah selesai berdoa, mereka bersama-sama jalan ke Makam Raja Mataram Kotagede yang lokasinya ada di samping masjid. Abdi Dalem yang ikut nyadran bukan hanya yang masih muda loh, saya melihat beberapa yang sudah sepuh sekali, berjalan pelan terseok tanpa alas kaki.
Nggak perlu kasihan kalau melihat Abdi Dalem jalan tanpa alas kaki ya. Apalagi kalau memang lagi acara. Itu biasanya karena memang beliau nyamannya tanpa alas kaki dan mungkin ada alasan spiritual lain. Macam earthing gitu, Guys.
Saya berjalan pelan di belakang rombongan. Ketika salah satu Abdi Dalem melihat saya di belakang, eh saya malah dipersilakan jalan ke depan. Hehe. *mindik-mindik jalan ke depan*
Memasuki area Makam Raja Mataram Kotagede, beberapa Abdi Dalem masuk ke dalam area makam. Tahu nggak si Geng, area Makam Raja Mataram Kotagede ini punya aturan yang bisa dibilang unik dan untungnya, nggak ada yang ributin aturan ini.
Aturannya adalah, semua pengunjung tanpa terkecuali, kalau mau masuk area Makam Raja Mataram Kotagede, diharuskan berganti baju sesuai dengan kaidah yang ditetapkan.
Perempuan: kemben dodotan dan kain jarit batik.
Laki-laki: beskap (lurik ataupun polosan) dan kain jarit batik.
Baju ini bisa dipakaikan oleh petugas di sana. Bayarnya, sukarela saja.
Kemarin saya dan teman sesama peserta, Mei, sudah niat mau berganti pakaian. Dari keseluruhan peserta, memang hanya kami berdua yang tidak berhijab jadi asyik-asyik aja ikut peraturan soal pakaian di Makam Raja Mataram Kotagede ini. Tapi karena ada Nyadran jadi sampai waktunya kami jalan ke tempat berikutnya, ibu petugas yang bisa memakaikan baju belum datang. Huwaaa.. Cancel deh rencana gegayaan pakai kemben dan jarit. Hehehe.
Selesai dari Makam Raja Mataram Kotagede, kami lanjut ke Pasar Legi Kotagede yang pas lagi ada pasaran juga.
Pasaran adalah awal mula adanya pasar. Di zaman dulu di tanah Jawa, pasar buka hanya di hari-hari tertentu saja, sesuai pancawaranya. Pancawara adalah nama hari dalam sistem tanggalan Jawa (dan Bali?). Satu minggu dalam siklus pasaran tanggalan Jawa berisi lima hari: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Pasar Legi Kotagede, sesuai namanya, dulunya buka saat Legi saja, kalau sekarang sih, buka setiap hari.
Tapi untuk mempertahankan tradisi, setiap Legi, diadakanlah pasaran.
Saat pasaran, Pasar Legi Kotagede buka seperti biasa dan pedagang yang di dalam pun bisa berjualan seperti biasa. Bedanya, di bagian luar pasar, ada tambahan pedagang. Tambahan pedagang inilah yang hanya ada saat pasaran.
Yang umum dijual dalam pasaran adalah hewan (ayam, burung, bebek, ikan, sampai kelinci) dan barang klithikan kayak obat herbal, alat pertukangan, onderdil kendaraan, sampai cincin batuan. Jualannya di pinggir jalan, nggak ada konter atau display apa-apa, sudah saja barang digelar seadanya. Bahkan beberapa pedagang burung displaynya tu sangkar-sangkar burung (ada burung di dalamnya tentu, dese jualan burung, bukan sangkar doangan) yang masih menempel ke sepeda motor dan motornya diparkir saja di pinggir jalan gitu. Hahaha. Pasar Legi Kotagede yang biasanya sudah ramai jadi berlipat lebih ramai saat ada pasaran. Saking ramainya, saya sampai bingung mau motret yang mana. Keburu puyeng lihat orang, motor, burung, seliweran. Wkwkwk.
Meninggalkan rombongan, saya memilih kembali ke meeting point lebih awal setelah dari pasar. Gak tahan panas dan puyengnya aqutu, Guys. Sampai di meeting point Ndalem Sopingen, LHA TERNYATA BANYAK YANG SUDAH BALIK DULUAN JUGA PADA NONGKRONG DI PENDOPO ih kezal. Wkwkwk.
Santai-santai menunggu yang lain kembali, saya transfer foto dari kamera ke ponsel. Fujifilm XT100, seperti kamera mirrorless masa kini lainnya, punya wifi dan bisa langsung sambung ke ponsel atau gawai lain via aplikasi Fujifilm Camera Remote.
Pas hasil fotonya masuk ke ponsel, uwuwuw, saya kaget sama hasil foto sendiri. Haha. Kampring abis memang tapi saya kagum hasil fotonya jernih, ketajamannya pas, bokehnya no fake fake. Diedit crop dan straighten saja juga sudah cukup ini sih. Aduh gawat, godaan berpindah agama jadi makin kuat menerjang. Hahaha.
*sebentar, saya meditasi dulu*
Saya belum rasakan dan maksimalkan pemakaian Fujifilm XT100 ini karena hanya pakai beberapa jam saja. Tapi so far, saya suka hasilnya, baik terlihat di layar kamera maupun di ponsel setelah ditransfer.
Eh btw, Mas Ardian dan Mas Iwan sempat bilang, “Kamu kalau mau coba pakai, pinjam punyaku saja.”
Uwaw! Saya jadi kepikiran, apakah tawaran itu berlaku untuk peminjaman jangka panjang dan kamera saya bawa ke New Zealand ya? Hahaha. Hmmmm.. *kedip-kedip*
Senyum dulu ah.. 🙂
BACA JUGA:
- Ke Ijen Bersama Ojek Wisata Banyuwangi
- Tiga Jajanan Pasar Atom Surabaya
- 5 Tips Mengatur Keuangan
hahahaha
baru beli lensa, imannya udah goyah lagi ini bagaimana ya
Hahahahaha atuhlah aduh bagaimana ini Aqiedaaaa….
Selalu suka sama tulisan mbak Bulan, soalnya bikin ketawa mulu haha. Btw hasil foto-fotonya bagus mbak, ah jadi rindu Jogja..
Aduh aduh, aku harus screenshot ini dan simpan di hati sebagai penyemangat nulis terus. Haha. Terima kasih ya. Sini sini ke Jogja lagi!
aku pun jadi ngiler pgn upgrade ke xt100, skrg pake fuji jg tapi kamera lawas,, butuh penyegaraaan.. ?
-Traveler Paruh Waktu
Kemarin aku udah sempat beneran hampir pindah agama dan memboyong XT100 ini pulang pun. Wkwkwk.
Kalo soal skin tone, Fuji juaranya. Pertanyaannya adalah… Jadikah berpindah agama? Hahaha
Imanku kuat!
Fuji emang paling juara buat masalah skin tone sih dan juga selama aku pake juga ga pernah mengecewakan hasil jepretan nya meskipun ga terlalu bikin wah tapi setidaknya tidak mengecewakan dna cukup bikin puas lah.
Good to know! Kamu pakai kamera Fujifilm apa kah?