#TourDeTangerang: Setengah Hari Tambah Kaya

Jengjeeeeng!!
Waktu saya dapat undangan pernikahan mantan dengan pacar barunya yang baru dipacari dua hari makan pagi bareng Mbak Vivi, Mbak Ketty, dan Mbak Deedee di sebuah hotel di Alam Sutera, saya kira kami hanya akan makan pagi saja. Tapi apa daya, kalau empat perempuan berisik jarang bertemu dan obrolan tidak selesai-selesai, maka tidak ada cara lain selain melanjutkan haha-hihi kami dengan jalan-jalan! *iya, soalnya jam makan pagi di hotel sudah habis juga sih..hiks..hihihi*
Dengan menumpang mobil Mbak Ketty, kami pun ……. wefie dulu. Bihihik!
Ki-Ka: Mbak Ketty, Mbak Deedee, Ibusuri Mbak Vivi, dan saya
Saat ditanya mau ke mana, Mbak Vi akhirnya punya ide untuk ke Boen Tek Bio. Saya yang buta Tangerang sih iya-iya saja ikut. Hihihi. Anaknya gampangan banget! :p
Boen Tek Bio adalah sebuah kelenteng tua yang masih aktif dipergunakan hingga saat ini. Nama kelenteng ini berarti ‘tempat ibadah sastra kebajikan’. Posisinya ada di dekat Pasar Lama, Tangerang. Saya nggak tahu pasti jalan menuju ke sananya (kan buta, sungguh. Tangerang dalam peta saya cuma Cipadu saja. Hihihi), tapi yang pasti, harus menyusur pinggir Sungai Cisadane dulu kemudian nanti ada jalan masuk ke kanan (Jl Bakti, namanya) yang di ujungnya terdapat kelenteng ini. Mengingat kelenteng ini cukup terkenal, kalau nanya orang di sekitar Sungai Cisadane pasti banyak yang tahu dan bisa memberikan panduan arah lah. Saya sih nggak bisa. Hehehe. *salim*
Mengingat acara jalan-jalan ini dadakan, sesungguhnya pakaian kami sedang salah banget siang itu. Saya pakai baju atasan longgar tanpa lengan, Mbak Vi pakai atasan tanpa lengan dan rok mini (plus sepatu wedges 10cm), Mbak Ketty malah pakai atasan lengan panjang berbahan sifon. Hahaha. Cuma Mbak Deedee yang agak normal; itupun saya yakin karena dia pakai hijab. Coba kalau enggak, pasti dia paling ancur pakaiannya. Hahaha. *tengok kanan kiri, moga-moga orangnya nggak baca*
Saat kami sampai di Boen Tek Bio, suasana cukup ramai. Saya melihat sekeliling, banyak umat beribadah tapi ramainya Boen Tek Bio berbeda. Tidak hanya umat beribadah yang meramaikan tapi juga warga yang berkumpul untuk sekedar mengobrol, main kartu, atau bertemu teman. Kelenteng ini kayak sarana berkumpul warga Tionghoa dan senangnya, mereka cukup terbuka terhadap pengunjung. Setelah mendapat ijin masuk dan diberitahu bagian-bagian mana yang tidak boleh difoto, kami pun berkeliling.
Di bagian kanan kiri kelenteng ada gerbang bulat. Yang kiri adalah Pintu Kesusilaan, yang kanan Jalan Kebenaran. Karena saya tahu diri, maka saya mengajak yang lain untuk nggak masuk dari Pintu Kesusilaan. Hihihi. Dua gerbang bulat ini tersambung lorong di kanan kiri dan belakang altar utama.
Pintu Kesusilaan. Hanya yang punya susila yang bisa lewat sini! :p
Lorong belakang altar utama..
Ramai ya warnanya.. 🙂
Bisa kah, kalian melewati pintu ini???
Setelah berjalan-jalan dan berfoto, kami pun keluar dari area kelenteng untuk menuju perhentian selanjutnya: Museum Benteng Heritage.
Museum ini dekat sekali dari Kelenteng Boen Tek Bio. Keluar kelenteng ke kiri saja lalu ketemu pertigaan, ke kiri lagi. Jalan sebentar, nanti di sebelah kiri ada bangunan kayak candi, nah museum ini berada di sebelahnya. Bentuknya seperti rumah biasa dan tulisan museumnya kecil, tapi jika imanmu kuat, kamu akan melihatnya. :’)
Stiker kenangan.. 🙂
Pintu depan museum..

Berkunjung ke museum ini harus (dan lebih baik) dengan pemandu. Pemandu kami saat itu namanya Mbak Suci yang sabar menjelaskan tentang budaya Tionghoa dan setiap ruangan dan bagian museum. Di museum ini juga akan diputar video tentang produksi kecap yang terkenal: Kecap Benteng; dan juga video tentang pernikahan dengan adat Tionghoa-Benteng. Selain itu, yang menarik banget untuk saya adalah pintu pintar yang cara membukanya unik. Seperti apa? Datang sendiri dong ke museum ini. *cieee.. sudah kayak buzzer-buzzer gitu belum? Hihihi*

Oya, satu yang menyenangkan adalah, di Museum Benteng Heritage kita bisa ….. sewa baju tradisional! HAHAHAHAHA. Cocok sekali kan untuk saya, Putri Tiongkok nan kece ala-ala. :’) *ngunyah choy pan*
Puteri Jalan Kartini, Ibusuri Cahaya Tangerang, Puteri Kebon Jeruk Tak Tertukar, dan Puteri BSD Ala-ala..
Oh dan di museum ini, kita tidak boleh memotret di ruang atas. Jadi kamera hanya bisa digunakan sampai di tangga saja. Alasannya adalah karena tur museum ini tur berpemandu. Kalau diperbolehkan memotret, nanti pengunjung tidak akan mendengar penjelasan yang diberikan pemandu dan sibuk berfoto saja. Mmmm, benar juga sih ya. Tapi kan jadi nggak ada foto-foto bagian dalam museumnyaaaa. Huhuhu.
Selesai dari museum, kami berkunjung sebentar ke pinggir Sungai Cisadane untuk berfoto dan beli jeruk. Sumpah yang terakhir random abis. Hahaha. Ya namanya juga emak-emak. *tunjuk Mbak Ketty dan Mbak Vici dengan muka lempeng*. Eh saya baru tahu, Sungai Cisadane ini lebar sekali ya! Dan jalan di pinggirnya bersih lho. Oke juga nih Tangerang, nggak suram-suram amat. Hahaha.
Jam sudah menunjukkan pukul 12.18 siang ketika kami selesai belanja jeruk di pinggir Sungai Cisadane. Cacing-cacing di perut sudah bergelinjang, demo butuh makan. Secara sudah jalan-jalan kepanasan sesiangan, maka kami memutuskan makan siang di tempat sejuk saja. Mall!! Huahahahaha.
Kembali menjadi anak mall.. :’)
Jalan setengah hari kami pun selesai setelah makan. Tambah pengalaman, tambah ilmu, tambah kaya. Pulang bahagia bawa Kecap Benteng dua puluh ribu sahaja. Tangerang oke juga nih untuk pelesiran weekenders. Kapan-kapan mengulik sisi lain dari Tangerang ah!
Senyum dulu ah.. 🙂

Related Posts

4 Responses
  1. Bulan

    Betul, Salman Faris. Indonesia ini super kaya, kebukanya sedikit-sedikit. Hihihihi. Terima kasih sudah mampir ya. 🙂 Salam kenal! 😀

Leave a Reply