“Bulan, Jumat besok aku akan ke Bali. Untuk upacara Ngaben pekakku (kakek). Kamu mau ikut? Mau lihat?” Bli Ananta bertanya ke saya.
“MAU!!” saya menjawab cepat.
Kalian tahu ngaben kan, Rencang-rencang? Upacara kremasi di Bali yang sungguh terkenal sekali itu! Terkenalnya seperti Mbak Angel Lelga lah gitu.
LAH.
Kok. Angel. Lelga?!
Anyhoo, saat saya ditawari ikut serta upacara ngaben di Gianyar, di acara keluarganya Bli Ananta, memang pas banget saat itu saya lagi di Bali. Sudah dari lama ingin sekali melihat secara langsung prosesi upacara Ngaben ini, maka sebagai teman yang sangat baik tentu saja saya langsung minta dijemput sama bli di Kuta. Hihihi. (PS: ke Gianyar ini, saya dijemput, dibayarin makan, dikasih kamar, diajak jalan, dan diantar balik ke bandara gitu sama Bli. Da saya mah bisa apa selain bersyukur yekan. Hehe.)
Setelah mengikuti prosesi ini, komentar saya cuma satu: Ya ampun, ini prosesinya lama bingit ya!! Hihihi.
Prosesi Ngaben berjalan lebih dari satu hari!
Malam sebelum acara; saya, bli, dan papanya bli datang ke rumah keluarga di mana jenazah disemayamkan. Di situ semua lek-lekan yknow what lek-lekan is kan? Begadang gidu!
Jenazah yang disemayamkan di rumah tidak boleh ditinggal sendiri. Jadi selama jenazah disemayamkan, selama itu pula keluarga dan tetangga bahu membahu begadang menemani (jenazahnya). Begadangnya rame-rame! Saat saya datang, ada sepuluh orang lebih sedang berkumpul. Kegiatan begadangnya mulai dari ngobrol-ngobrol, main kartu, sampai ngezombie bengong-bengong bersama. Hihihi.
Jam setengah sepuluh malam saya sudah mulai mengantuk jadi izin pulang duluan dan tidur. Ya usia memang nggak bisa bohong ya. Wkwkwk.
Esoknya, saya memulai hari dengan membentuk alis biar ciamik pakai kebaya dan kain. Tadinya mau pakai kaos dan kain saja karena nggak bawa kebaya, eh mamanya Bli Ananta pinjamin saya kebaya biar nggak terlihat terlalu berbeda dengan orang lain, katanya. Saya ya tentu saja memakai kebaya pinjaman itu dengan sukacita! Kebesaran juga gpp dah. Nanti saya sumpel!!
EH APANYA?!
Pukul 11 kami mulai berangkat ke tempat acara. Prosesi memindahkan jenazah dari bangunan panggung di tengah rumah ke usung-usungan sendiri dimulai pukul 12 lewat. Setelah jenazah sudah aman di usungan, dimulailah kirabnya. Usung-usungan ditandu lebih dari 30 orang menuju lapangan makam. Saya semangat jalan kaki hingga kira-kira beberapa saat kemudian baru menyadari, hmmm, sepertinya jalannya akan jauh ya? Hmmm.. Apakah tidak sebaiknya saya naik ojeg saja? Hmmm.. Wkwkwk.
Untung papanya Bli Ananta baik banget nemenin saya di perjalanan sambil cerita-cerita ini itu. Perjalanan jauh jadi tak terasa.
Terasanya pas sudah sampai lapangan tempat acara. Betis kemeng, Jenderal!! Wkwkwk.
Sampai di lapangan, jenazah dipindahkan dari usung-usungan yang tadi dibawa ke usungan lain berbentuk binatang. Bentuk binatangnya apa tergantung dari klan-nya. Keluarga Bli Ananta dari klan Pasek, bentuk usungan binatangnya tu macan. Usung-usungan berbentuk binatang ini lah yang nanti akan dibakar. Usung-usungan yang tadi dibawa dari rumah?
Disorongin begitu saja di sebuah area lapangan. Dibuang.
Kasihan..
Sebelum dibakar, jenazah didoakan dahulu. Pandita memimpin doa dan mendoakan dari jauh, setelah selesai didoakan, usungan pun mulai dibakar. Api melahap usungan dengan cepat, lidahnya yang berwarna jingga berkobar-kobar. Saya diam memerhatikan. Ada rasa aneh menjalar dalam dada. Bukan sedih yang tak terkira, tapi lebih ke rasa lega. Seperti sudah selesai kewajibannya di dunia. Mengantar seseorang hingga ke akhir masa perjalanan.
Apa yang lebih indah dari itu?
Setelah usungan habis dilalap api, sisa usungan diturunkan dan bagian dalamnya dikeluarkan. Keluarga berkumpul untuk mulai memisahkan tulang dan abu hasil pembakaran. Tulang yang terkumpul akan dihancurkan, dimasukkan ke dalam tempurung kelapa, dan didoakan kembali sebelum kemudian dibawa pergi dalam usungan lain yang lebih kecil.
Prosesi dilanjutkan di laut. Usungan berisi tempurung kelapa yang ada bubuk tulang jenazah di dalamnya didoakan di pinggir pantai kemudian dilarung untuk kembali menyatu dengan alam.
Hati saya bungah melihat pekak mengarungi ombak, menjauh dari saya. Saya berkumpul bersama Bli Ananta dan sepupu-sepupunya, melambaikan tangan ke laut sembari berkata, “Dadah, Pekak.. Dadaaah..”
Matahari semakin turun. Upacara Ngaben ini menghabiskan waktu sehari semalam. Saya lelah namun juga lega dan senang.
Setelah melarung lalu acara selesai?
OTENTUTIDAK!! Masih ada acara di rumah. Hahahahazzzzzzzz.. *ketiduran*
Saya sudah membayangkan sampai rumah kelelahan dan rumah akan ramai oleh tamu dan harus lek-lekan lagi ketika kemudian saya mendengar secercah harapan. Papanya Bli Ananta mengemukakan ide cemerlang!
Kami tidak akan ikut acara di rumah melainkan melanjutkan perjalanan menuju ke …… RESTORAN!!
Hahahaha.. *peluk papanya bli* Ide bagus!! :))
Rangkaian acara ngaben itu memang panjang dan melelahkan. Tapi yang saya sadari dan kagumi, nggak ada yang mengeluh selama mengikuti acara. Walaupun panas, walaupun jalan kaki jauh, walaupun mesti lek-lekan, tapi semua menjalaninya dengan santai.
Kagum banget sama perempuan Bali yang seharian memakai kebaya dan kain serta heels tinggi. Padahal kebaya perempuan Bali itu ketat badan (kebaya HOT kalau kata Bli Ananta) jadi bayangin pakai kebaya ketat bahan brokat yang nggak menyerap keringat seharian jalan kaki jauh pula! Fiuh! Belum duduk tegak (dari mulai duduk anggun sampai duduk bersila, semua sudah saya lakukan sepanjang acara, belum aja duduk mekangkang!), lalu berdiri lama. Belum (agak) kehujanan, kepanasan. Belum kelaperan lalu merasa dalam dilema. Kalau makan nanti jadi gendutan, perutnya berlipat, nggak keliatan oke pakai kebaya ketat badan kalau perutnya berlipat. Tapi kalau nggak makan, laper. Piye? Dilematis banget kan. Persoalan dunia pertama! :'(
Tapi sekali lagi, nggak ada yang mengeluh. Semua menjalani dengan senang.
Ikatan kekeluargaan di Bali itu kuat sekali. Saat ngaben begini, keluarga datang dari mana-mana. Ya bayangin saja, bli Ananta yang tinggal di Jakarta saja sampai pulang ke Gianyar demi ikut serta di acara ini.
Dan semua yang datang tu mengikuti keseluruhan acara dengan cerah ceria dan wajah senang. Ini awalnya bikin saya bingung. Ini kan acara yang dalam bayangan akan penuh haru ya, tapi kok nggak kelihatan haru birunya. Malah pada bersukacita, kayak lagi pada reunian gitu.
“In Bali, death is celebrated as big and as happy as baby born.”, kata Bli Ananta.
It was indeed festive! And (somehow) joyful!
It gives me another perspective in dealing with lost..
Setelah menyaksikan upacara Ngaben, saya jadi sadar demikianlah saya ingin diperlakukan di masa akhir saya. Eh bukan kirab dan prosesi panjangnya si, melainkan dikremasinya. Abunya sih bebas, kalau bisa dilarung saya akan senang tapi kalau mau dikubur pun ya boleh. Dibuang juga ya gpp. Mana saja yang nggak nyusahin lah. :))
Sampai sekarang si Mama saya masih nggak setuju dengan permintaan saya untuk dikremasi ini, tapi ya gpp, yang penting saya sudah bilang apa mau saya. Nanti kalau keinginan saya tidak dijalankan, saya ‘datangin’ aja. HAHAHAHA.
Senyum dulu ah.. 🙂
Eh terus gw baru mau nanya pertanyaan yang sama dong bul,,apa kabra itu ada nyonya rama irama…
Hihihi.. Biar ada yang seger gitu kalau baca post gw. Bening euy!! 😀
Aku serem liat foto yang paling pertama. Keputihan! #eh #soundswrong
Hahahahaha!!! ??
Kebaya e kegedean? namanya juga dipinjemi, semacam kelegaan gitu ya kalau udah mengremasi kerabat bagi org Bali ya mbak
Iya kegedeaaaan. Hahaha.