“Where are you now? Already in Korea?” tanya Ian via Whatsapp.
“Yeap! At Seoul Express Bus Terminal waiting for my bus to Sokcho!” jawab saya.
“NO!! NO!! Ask for a refund now!! Or don’t ask for a refund, I’ll pay for your ticket, just cancel it!!”
Saya panik sesaat membaca pesan dari Ian. Eh ada apa? Dalam bayangan sudah ada scene dari film A Taxi Driver yang berlatar Gwangju Uprising. Aduh aduh.. 🙁
“Cancel your trip to Sokcho and come to Chuncheon instead! I’m still in Chuncheon, I can show you around! COME!!”
YEEEE.. MANEEEH!! Bikin panik ae. Abdi kira kenapaaaaah… Grrrh..
***
“Chuncheon hanmyeong juseyo..” pinta saya ke Ibu di balik konter dengan takut-takut. Ini kali pertama saya mencoba menggunakan bahasa Korea ke orang Korea di Korea. Duileh ngapalin frasenya sudah dari 300 meter sebelum terminal dah. Itupun kayaknya salah tapi yaudah gpp, yang penting Ibunya paham. Wkwkwk.
Saya akhirnya akan ke Chuncheon. Satu hari sebelum Ian pindah ke Filipina. Hahaha. Detour sih ini karena sebenarnya saya mau ke Daegu dari Sokcho tapi alih-alih ke Chuncheon (yang ke utara dulu) baru ke Daegu (yang ke selatan lagi). Hari itu saya hanya bisa keliling Chuncheon beberapa jam saja, tapi gpp, kadang saya harus memaksa diri bertemu orang kalau nggak ke-anti sosial-an saya akan terus mendominasi kehidupan ini. Wkwk.
Ibu di balik konter membalas dengan senyum dan satu pertanyaan yang saya nggak paham arti persisnya tapi saya yakin beliau menanyakan jam keberangkatan.
“Yeol si.. (saya diam sebentar berpikir) sam sib bun..” jawab saya.
Chuncheon adalah ibukota provinsi Gangwon yang berada di arah timur laut kota Seoul. Banyak yang tidak tahu Chuncheon tapi saat ditanya “Tahu Nami Island nggak?” langsung berebutan, “Tau dooong!!”
Nah, Nami Island teh di Chuncheon!! Hahahaha.
Apa keindahan Chuncheon cuma bisa dinikmati di Nami Island-nya saja? Oh tentu tidak..
“What do you want to eat? The options come down to two: chicken or noodle.” tanya Ian saat menjemput saya di terminal bus Chuncheon.
“Hot noodle?” tanya saya balik karena saya baru tahu, umumnya orang Korea mengacu ke cold noodle saat mengatakan ‘noodle’.
“No, cold noodle.” jawab Ian, tepat seperti perkiraan. Saya nggak suka cold noodle (atau lebih tepatnya belum bisa menikmatinya) jadi pilihan saya jatuhkan ke ayam.
Kami masuk ke sebuah restoran yang cukup ramai. Meja-meja besar berbentuk bulat disusun rapi membentuk dua jalur. Di atas masing-masing meja, sebuah pinggan raksasa berbentuk bulat ditaruh di atas tungku arang.
“Kita makan Dakgalbi!” kata Ian dengan mata berkilat penuh semangat. Perut saya yang sudah lapar ikut berkilat-kilat penuh semangat. YHA~ Bagaimana ~
Pelayan datang membawa sebongkah daging ayam setengah beku yang langsung ditaruh di atas pinggan yang mulai memanas. Di atas daging ayam dituangkan bumbu berwarna jingga pekat. Di sekeliling daging ayam, diatur berbagai macam sayuran membentuk lingkaran. Lalu pelayan pergi. Meninggalkan perut saya yang kebingungan.
“Nanti dia akan kembali dan masakkan untuk kita.” kata Ian melihat wajah bingung saya.
[quads id=4]
Sementara menunggu Dakgalbi dimasakkan, kami mengobrol. Obrolannya random banget dari mulai tentang Korea Selatan, Korea Utara, Dinasti Joseon, Dinasti Silla, sampai sejarah Dakgalbi. Hahaha.
“Kita tidak boleh makan sebelum pelayan beritahu” lanjut Ian menerangkan, “Mereka akan beritahu kapan makanan siap dimakan.”.
“Masitge deuseyo..” kata pelayan mempersilakan kami makan.
“Jal meogetsseumnidaaaa..” jawab saya dan Ian berbarengan.
Bagaimana tampilan Dakgalbi setelah jadi?
Nganu.
Mirip nasi goreng. Nasi goreng warna jingga. Yahahaha.
Rasanya pun mirip. Hanya ada beda sedikit rasa yang unik dari Dakgalbi; mungkin karena gochujangnya.
Mohon maaf ni nggak ada foto dakgalbinya karena saya kan sudah kelaparan ya jadi langsung lhep lhep lhep masuk mulut tanpa difoto. Wkwk.
Sambil kami makan, saya melihat ke meja sebelah dengan ujung mata, “Kok mereka makan nasi?” tanya saya ke Ian. “Kita nggak makan nasi?” Saya curiga.
“Nanti. Di akhir. Hahaha.” Ian menertawakan jawabannya sendiri. Sebagai orang yang pernah tinggal delapan tahun di Indonesia, dia tahu banget kita – most Indonesian, memasukkan nasi di menu utama. Tapi dalam dakgalbi, nasi dimasukkan terakhir – bersamaan dengan, apa tebak….
UDON!!
Buahahaha.. Combo banget karbonya astaga..
Mengetahui akan ada nasi (dan udon) di akhir jamuan, saya berencana mengambil porsi lebih sedikit di ronde pertama tapi Ian tentu tak membiarkan saya melaksanakan rencana saya. :/ Dia terus saja memberikan ini itu nina ninu ke dalam piring saya dan menyuruh saya makan. Pfft!
“Setelah ini kita mau ke mana?” tanya saya ke Ian setelah kami selesai makan.
“Kamu sukanya apa? Shopping, nature?” tanya Ian.
“NATURE!” jawab saya cepat.
Ian pun mengajak saya beranjak ke pinggir kota. Kami ke Animation Museum, tapi alih-alih masuk ke dalam museumnya, kami ke bagian belakangnya. Ada taman, jalur sepeda, dan gedung di belakang museum ini dan kata Ian, itu tempat menyepi dan suasananya tenang sekali dan pemandangannya indah.
[quads id=4]
Sampai sana, saya terhenyak.
Itu suasananya bukan tenang, Rencang-rencang, itu lebih ke depressed. :/
Pemandangannya memang cantik. Kami bisa melihat danau yang besar dengan latar kota di kejauhan. Tapi entah kenapa feeling saya nggak enak. Macam suicidal banget gitu auranya. 🙁 Waktu kami datang, ada dua perempuan duduk berjauhan di sisi yang berbeda. Masing-masing hanya duduk saja diam nggak ngapa-ngapain. Mending kalau kursi yang mereka duduki dihadapkan ke luar ya jadi bisa sekalian lihat pemandangan, ini enggak, kursinya menghadap ke dalam. Segitu tegangnya aura yang ada di sana sampai saat saya dan Ian berjalan ke sebuah sisi dan melihat ada satu perempuan duduk di sudut sendirian saja saya jadi bertanya ke Ian apakah kami sebaiknya mendekat? Saya takut mengganggu.
“Ya, I think we better don’t. I think she needs some alone time.”
Kami berbalik arah.
Lalu, sudahlah suasananya suicidal begitu, entah apa yang merasuki pikiran saya tapi kok saya malah mulai menanyakan fenomena bunuh diri di Korea Selatan.
Aduh aduh, obrolannya tetiba gelap. Kepala saya pusing, pandangan gelap, perut lapar.
Nggak suka dengan vibe yang terasa, saya mengakhiri obrolan dan meminta pindah tempat.
Kami melanjutkan perjalanan ke sebuah danau besar yang juga berfungsi sebagai reservoir. “Di sini wisatanya seperti ini. Driving begini.” kata Ian.
Saya menahan senyum, terpikirkan sesuatu; pernah nggak sih kalian lagi stress dan mau keluar rumah tapi nggak tahu mau ke mana, pokoknya mau ke luar rumah saja, menyetir sampai jideng? Nah TADAAAA Chuncheon menjadikannya wisata. Wisata menyetir! Hihihi.
Wisatanya ya benaran menyetir saja, Rencang-rencang. Danau yang kami kelilingi itu luas sekali dan berliku, nggak cuma berputar mengitari saja. Ada jalan di tengahnya yang bisa diambil dan nanti kalau belok kiri (misalnya) akan bertemu di sisi danau yang lainnya. Nyetirnya bisa kencang tapi nggak bisa ngebut juga karena jalannya berkelok. Pemandangannya apa? Danau dengan air biru tua yang bersih di satu sisi, bukit dan lembah di sisi lainnya, serta pegunungan di kejauhan. LAFF BANGET!!
Kalau pikiran sudah agak tenang, bisa juga mampir ke beberapa kafe yang ada di pinggir danau (bagian danau dengan kafe di pinggirnya itu ada di sisi yang berbeda dengan danau yang wisata menyetir tadi, tapi danaunya tu satu danau yang sama, paham tak? Wkwk).
“Are we goin to a cafe?” saya mulai demanding demi melihat sebuah kafe nan rupawan di pinggir jalan tapi Ian melewatinya saja.
“We can. Do you want to go to a cafe?” Ian malah balik bertanya.
“YES!” jawab saya cepat. “To the one we just passed!”
Ian ngakak dan akhirnya memutar balik.
Sebuah kafe dengan lantai dan dinding semen menyambut kami. Di dalamnya, meja kursi kayu dan besi diatur berantakan bergaya industrial chic. Dari kejauhan, kami bisa melihat hamparan rumput sintetis berwarna hijau dengan puluhan bean bag berwarna-warni. Posisinya tepat di pinggir danau; membuat warna hijaunya terlihat kontras dengan air danau yang biru pekat. Suasananya tenang sekali.
Kali ini benaran tenang, bukan depresi. Hamdallah.
Kami memilih duduk di balkon atas, mengobrol ditemani Americano, latte, dan sepotong kue red velvet. Topik obrolan beralih tentang bahasa dan isu lingkungan.
“Ada beberapa tempat lagi aku mau ajak tapi tidak tahu cukup atau tidak waktunya.” kata Ian.
“Kalau tidak cukup ya sudah, santai saja. Tidak ada target apa-apa. Aku tidak mau buru-buru.” kata saya santai.
Semakin tua, saya nih semakin santai saat jalan-jalan. Nggak mau terburu-buru dan diburu-buru.
[quads id=4]
Akhirnya kami memutuskan ke satu tempat lagi saja yang adalah sebuah kafe di atas bukit. Saya ngakak pas masuk kafenya. Ini nggak tahu apakah karena sering kejadian orang datang doang tanpa beli apapun dan menghabiskan waktu lama menikmati suasana serta pemandangan di sana tapi di depan pintu masuk ada tulisan tiap orang WAJIB membeli MINIMAL satu minuman. Hihihi.
Kafenya sendiri menurut saya biasa saja, nggak terlalu nyaman untuk duduk-duduk dan bercengkerama, tapi lokasinya memang prime. Dan saya pernah lihat kafe ini masuk menjadi setting drakor gitu tapi saya lupa judul drakornya. Wkwk. Di belakang kafe, ada dek yang sangat besar, menjorok keluar dari bukit, menyuguhkan pemandangan kota Chuncheon dari ketinggian. Saat kami datang, matahari sudah mau kembali ke peraduan. Chuncheon jadi terlihat berwarna kekuningan. Cantik.
Minuman selesai kami nikmati, kami pun bergegas beranjak ke terminal. Saya akan melanjutkan perjalanan ke Daegu.
Sepanjang jalan, saya melihat ke kanan, menikmati langit senja dengan semburat jingga keunguan. Langit yang berwarna magis, suhu yang hangat dari heater di dalam mobil, dan mobil yang bergerak perlahan membuat saya begitu menikmati suasana. Sayang, saya hanya beberapa jam saja keliling Chuncheon ini, walau begitu hati saya rasanya tenang sekali.
Kali lain, saya mau kembali untuk tinggal lebih lama. Chuncheon, you peaceful you.
Senyum dulu ah.. 🙂
Soal mata angin, nggak cuma utara, timur laut, timur, tenggara, barat daya, barat, barat laut lho kak Bul. Masi ada utara timur laut, timur timur laut, timur timur tenggara dan sebagainya. hiya hiya hiya
Waaah iya sering banget itu kalau pokoknya pengen cabut aja. Nowhere to go yang penting metu sek wae lah. Wkwkwkwkwkwkwkwk.
Oya, aku pernah makan makanan korea di Indonesia, sepertinya bukan resto yang bagus juga sih. Rasanya oh semacam hambar nggak jelas. Aku nggak suka. Apa karena bahannya juga kurang bagus atau gimana kurang tahu. Bisa jadi juga karena yg masak orang Indonesia jadi kurang paham ngolah yang bener sesuai di Korea kek gimana.
Ha yang bener, Mas Ga? Aku baru tahu lho ada utara timur laut, timur timur laut, dll itu. ???
Nanti kapan-kapan kita bikin sesi makan masakan Korea di resto yang bagusan!! Hahahaha.
Asal dibayarin, siap aku kak bul. Wkwkwkw
LAAAAAH… Abort abort!! Cancel!!
Wkwkwkwk.
koq sama gak tau soal barat, timur, dll haha
Mana tinggal di Jogja lagi, yang semua orang kasih tau arah jalan tu pakai utara timur barat selatan. Hahaha.
Kalau timur laut dan arah mata angin bingung, gimana lagi kalau misalnya dikasih info: pesawat akan mendarat melalui ‘runway 18’ 😀
Btw, aku juga merasa pemandangan pertama yang dibilang tenang itu kok agak gak enak ya. Tapi lebih karena perpaduan kota di kejauhan yang menyebrangi danau yang dalam. Entahlah, aku selalu merasa seram sama yang namanya dalam. Kesannya lebih misterius daripada lautan.
‘Runway 18’ gitu gak ada lampu nyala2 berbentuk angka 18 gitu? Hihihi.
This is why I never want to be a pilot. LoL.
Yang di foto pemandangan pertama itu, Bhai, kalau aku foto ke arah sebaliknya, bisa keliatan tu dua Mbak-mbak berbaju hitam-hitam lagi nerawang gatau liat apa. Huhuhu. Antara pengen reach out sama kabur aqutu.
Chuncheon ini kota di lembah pegunungan yang tenang ya, kak? Jadi tertarik buat kepoin, siapa tahu ada rejeki ke Korea Selatan.
Suka semua tempat yang ditunjukin Ian, kak. Apakah indra keenammu bekerja saat di belakang museum itu?
Ngomong-ngomong, Ian ini siapa kak? Maap banyak nanya 😀
Kalau dia kayak datarah rendah yang dilingkupi pegunungan itu namanya lempah pegunungan kah, Gi? Gitu lah si Chuncheon ini. Hihihi.
Aku gak mau bilang indera keenamku bekerja tapi aura tempatnya aja yang emang terasa nggak enak deh. Hihi. Ian teman aku. Hihi.
Sekilas kayak lembah sih, kak. Tapi nggak yakin juga haha.
Ah, I see 😀